Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Dulu monopoli, sekarang?

Akan ada tiga pabrik tepung terigu yang baru, yang bekerja sama dengan bogasari flour mills. maka, jangan harap harga tepung bisa turun.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Dulu monopoli, sekarang?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DEREGULASI Juni 1993 telah mematahkan monopoli PT Bogasari Flour Mills. Dan dalam waktu dekat, Siti Hardiyanti Rukmana akan memasuki bisnis terigu yang, menurut para pakar, cukup tinggi rente ekonominya itu. Mbak Tutut, begitu ia biasa dipanggil, akan bermitra dengan Hamid Djojonegoro (ABC Group) dan Benny Soeherman (Rodamas Group). Mereka, kabarnya, akan mendirikan pabrik tepung terigu di Medan, Cilacap, dan Surabaya. Kapasitasnya 4.000 ton per hari, hampir 50% dari produksi Bogasari. Kapasitas itu cukup besar. Padahal, Deregulasi Juni 1993 sudah menentukan bahwa produsen terigu yang baru wajib mengekspor 65% produknya. Bogasari, sebaliknya, bebas dari wajib ekspor. Ini berarti Pemerintah masih melindungi Bogasari, yang 23 tahun menguasai bisnis terigu di negeri ini. Dengan perlakuan istimewa itu, Bogasari mencetak sukses besar, tapi juga dicap sebagai pemegang monopoli terigu di Indonesia. Dari sebuah penelitian atas bisnis terigu, Pusat Antar- Universitas (PAU) UGM 1990 sampai pada kesimpulan bahwa harga terigu di dalam negeri lebih mahal daripada di luar negeri. Ambil contoh harga eceran 1993 yang Rp 680 per kg, atau Rp 70 lebih mahal daripada terigu Amerika. Dengan total produksi Bogasari 3,24 juta ton, beban lebih yang ditanggung konsumen minimal Rp 32 miliar per tahun. Tapi Sudwikatmono membantah soal beban konsumen itu. ''Siapa yang monopoli? Semuanya kan ditentukan Bulog,'' sergah Presdir Bogasari itu. Kini, dengan aset Rp 600 miliar, Bogasari melebar ke berbagai anak perusahaan. Semua itu berkat tangan dingin Sudwikatmono (59 tahun), anak ketujuh mantri pengairan dari Wuryantoro, Solo. Bersama Liem Sioe Liong, yang sudah lama dikenalnya, ia merintis peruntungan di dunia usaha. Kini, seperti diakuinya, PT Bogasari Flour Mills ikut andil dalam perusahaan terigu milik Mbak Tutut. ''Buat apa ditutup- tutupi. Toh nanti juga akan bocor ke luar,'' kata bos Twenty One Group ini. Rabu pekan lalu, didampingi Piet Yap, General Manager Bogasari, Sudwikatmono menerima wartawan TEMPO, Bambang Aji dan Siti Nurbaiti, di kantornya untuk sebuah wawancara. Petikannya: Mengapa Anda menolak dikatakan memonopoli tepung terigu? Saya bantah. Pada tahun 1967/68, lebih dari 10 perusahaan mendapat izin membangun pabrik terigu. Tapi yang jalan cuma Bogasari. Yang lain masih sangsi atau ada yang lari ke.... Dengan pinjaman US$ 1 juta dari Jerman, kita jalan. Kini, setelah Bogasari maju, banyak orang yang iri. Siapa saja yang mendapat izin itu? Kita dicela dan dituding memonopoli. Padahal, izin pendirian pabrik itu diberikan kepada 10 perusahaan, di antaranya Rodamas dan Mantrust. Akhirnya kami yang maju dan, dalam 20 bulan, pabrik selesai. Betulkah margin yang diambil Bogasari lebih dari 40%? Mungkin margin 40% itu diambil ketika Bogasari diakuisisi Indocement. Namun, soal margin, saya tidak bisa bilang, tanya pada Bulog. Margin yang kami nikmati sekarang ditetapkan Bulog 56 tahun lalu. Jadi, margin itu kecil sekali. Tapi kan penyusutannya tinggal sedikit? Penyusutan kita tidak banyak. Ada dermaga dan beberapa mesin yang sudah habis masa penyusutannya. Hanya mesin yang 57 tahun terakhir yang masih ada penyusutannya. Namun, kalau Bulog tentukan margin terlalu sedikit, ya, kita negosiasi. Berapa rendemen yang ditentukan Bulog? Saat ini 74% dari gandum. Kalau di atas itu, ada ekstraprofit buat kita. Maka, kesempatan itu harus digunakan. Bulog juga untung karena tak usah menyediakan gudang. Bisa dijelaskan kalkulasi biaya pabrik hingga harga eceran? Itu rahasia. Kan banyak fee ini dan fee itu. Yang penting, kita tak lebih mahal dari Singapura atau Malaysia. Semuanya Bulog yang atur. Jika Bulog membeli gandum US$ 200 per ton, dia menetapkan harga pabrik, penyalur, dan eceran harus sekian. (Komponen harga terigu menurut Bulog: harga bahan baku ditambah manajemen fee Bulog 4% dari bahan baku, biaya penggantian subsidi, biaya produksi, dan margin Bogasari 4% dari biaya produksi, PPn 10%, dan dana transmigrasi 2% dari harga terigu.) Jadi, Bogasari pasti untung. Memang. Kami tidak pernah rugi. Ruginya, ya, kalau tidak ada produksi. Seperti saya katakan tadi, semuanya diatur Bulog, mulai impor gandum, harga eceran, harga pabrik, penunjukan penyalur, hingga penetapan margin. Jadi, Bogasari ini tukang jahit yang cuma dapat ongkos. Apa yang menyebabkan harga tepung di sini mahal? Mengapa harga tidak diserahkan kepada pasar dan bersaing dengan terigu impor? Yang membuat terigu kita mahal, Bogasari satu-satunya pabrik yang memakai pembungkus belacu sehingga kualitasnya terjamin. Negara lain kan memakai plastik atau kertas. Pasaran tepung terigu di sini tidak menganut hukum permintaan dan penawaran. Sebab, semuanya diatur Pemerintah. Tapi, kalau kita harus bersaing, saya kira berat karena mereka dumping. Produsen terigu baru harus mengekpsor 65% produknya. Artinya, Bogasari masih dilindungi. Kalau boleh, tentu, kita akan mengekspor. Sejak dulu kita juga mau ekspor, tapi Pemerintah tidak mengizinkan. Tujuan kita adalah memenuhi kebutuhan terigu dalam negeri. Sebagai orang yang berpengalaman, apakah Anda dikonsultasi oleh Mbak Tutut? Ia datang kepada saya. Sebagai paman, jelas, saya memberikan beberapa masukan. Akhirnya, ia meminta saya (Bogasari) ikut. Apalagi partner dia teman-teman saya juga. Akhirnya, grup mereka menguasai 60%, sedangkan Bogasari mempunyai andil 40%. Tapi ini baru dirundingkan. Dengan pabrik terigu baru, apakah akan terjadi oversupply, dan harga kemudian turun? Saya kira akan terjadi oversupply. Kenaikan permintaan terigu hanya 10% setahun. Soal harga, Bulog yang menentukan. Itulah sebabnya mereka harus mengekspor 65% produknya, agar pasar terigu dalam negeri tidak terganggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus