PENGUSAHA yang makan nangka, perusahaan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang kena getahnya. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menerangkan tentang kondisi BUMN yang bergerak di bidang asuransi kredit ini. Soalnya, gara-gara kredit macet, perusahaan yang sahamnya dimiliki Bank Indonesia (51,57%) dan Departemen Keuangan (48,43%) ini mengalami kerugian sekitar Rp 390 miliar. Kejadian ini sungguh mengagetkan para pengamat ekonomi. Bagaimana tidak? Setelah merugi bertahun-tahun, baru pada 1988 BUMN ini dinyatakan sebagai perusahaan negara yang sehat karena berhasil memetik laba lumayan. Tahun lalu, misalnya, Askrindo masih mencatat keuntungan bersih Rp 20,2 miliar. Jika dibandingkan dengan laba pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 1989 dan 1990 masing-masing untung sebesar Rp 40,5 miliar dan Rp 67 miliar) jumlah ini memang tidak berarti. Tapi masih untung. Maka, ketika Askrindo menyatakan rugi demikian besar, banyak pengamat ekonomi bertanya-tanya. Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, Christianto Wibisono, bukan saja menganggap kerugian itu sebagai hal yang aneh, tapi juga ''lucu''. Jawaban atas kerugian ternyata karena meningkatnya klaim yang diajukan bank-bank atas penyaluran kredit usaha kecil (KUK) kepada Askrindo. Tahun lalu, klaim yang diajukan untuk KUK mencapai Rp 460,64 miliar naik sekitar 1.433% jika dibandingkan dengan klaim yang diajukan bank-bank pada tahun sebelumnya. Lonjakan klaim itu terlihat wajar jika dibandingkan dengan besarnya kredit macet di bank-bank pemerintah saat ini. Kenapa Askrindo masih ngotot menjadi penjamin KUK? Padahal, menjamin KUK bukan lagi jadi kewajiban BUMN ini. Seperti diketahui, sejak Paket Kebijaksanaan Juni 1990, Askrindo dibebaskan dari kewajiban menanggung KUK. Artinya, Askrindo bisa memilih kredit mana (yang berisiko rendah, tentunya) yang akan dia jamin. Seharusnya, kata seorang bankir, ''kebebasan'' ini dimanfaatkan Askrindo dengan baik dan tidak terus-terusan menjamin KUK. Kendati KUK ini bukan kredit raksasa, kalau ditotal jumlahnya bisa sangat besar. Apalagi jaminan yang ditanggung Askrindo sebesar 70% sementara bank-bank penyalurnya hanya menanggung 30%. Dirut Askrindo, Soelistio, mengatakan bahwa pihaknya tetap menjamin KUK karena kredit ini merupakan program Pemerintah yang penting. Ketika Askrindo masih diwajibkan menjadi penjamin KIK dan KMKP, klaim yang harus mereka bayar juga cukup besar. Terakhir, per Desember 1992, klaim KIK dan KMKP yang telah disetujui untuk dibayar mencapai Rp 91 miliar. Kendati demikian, BUMN ini tidak sampai merugi. Kenapa sekarang terbentur KUK? ''Harus dicek dengan teliti, siapa saja yang dijamin Askrindo,'' kata Christianto. Kecurigaan Christianto kelihatan cukup beralasan. Ia melihat Askrindo terlalu ''habis-habisan'' menjadi penjamin KUK. Bayangkan, demi menjamin kredit tersebut, aktiva lancar BUMN ini tinggal Rp 212 miliar (turun 53%), sedangkan utangnya membengkak dari Rp 303 miliar menjadi Rp 492 miliar. ''Ada apa sebenarnya dengan BUMN ini?'' tanya Christianto. Pimpinan Askrindo tak mau berbicara banyak mengenai kerugian itu. Namun, menurut beberapa bankir senior, kerugian yang dialami Askrindo kali ini bukan lantaran harus menanggung KUK semata. Seorang bankir bahkan menduga ada kolusi antara bank dan Askrindo di balik kerugian besar itu. Ada yang menduga, tak semua kredit yang dijamin Askrindo merupakan kredit KUK, tapi juga kredit lain, yang jumlah per pinjaman di atas Rp 250 juta. Kredit yang diasuransikan oleh bank-bank itu, menurut perkiraan sebuah sumber TEMPO di kalangan perbankan, adalah pinjaman-pinjaman yang telah melampaui pagu pinjaman legal. ''Kemungkinan terjadinya kolusi antara bank dan Askrindo itu bukan mustahil,'' kata Christianto. Maka, Christianto menyarankan, sebaiknya Askrindo jangan berjalan di luar jalur. Tetap saja menjamin kredit-kredit kecil (sekalipun tanpa agunan). ''Kalau berani melangkah dari jalur itu (maksudnya, menjamin kredit besar), dia bisa mati sendiri,'' tuturnya. Sebenarnya Askrindo boleh dikatakan telah ''mati''. Sesuai dengan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), jika sebuah perusahaan mengalami rugi 75% dari modal, perusahaan yang bersangkutan telah bubar demi hukum. Sedangkan kerugian Askrindo, tahun lalu, jauh di atas aturan main tersebut. Per 1991, modal sendiri Askrindo tercatat Rp 150 miliar, sedangkan kerugian yang diderita sekitar Rp 390 miliar. ''Daripada terus-menerus menggerogoti anggaran Pemerintah, sebaiknya Askrindo dibubarkan saja,'' demikian beberapa pakar ekonomi berpendapat. Tapi, tidak demikian halnya sikap Pemerintah. Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, menurut siaran pers yang diedarkan Soelistio, telah siap menambah setoran sekitar Rp 91 miliar setara dengan jumlah klaim KIK dan KMKP yang harus dibayar. Tak disebutkan dari mana duit untuk menomboki sisa kerugian Askrindo itu. Budi Kusumah dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini