BAGI Mar'ie Muhammad, perkara yang satu ini agaknya bak kerikil terselip dalam sepatu: dibawa berjalan terasa tak nyaman, namun untuk membuang benda sialan itu perlu melepas alas kaki alias sedikit repot. Bisa dimaklumi bila Menteri Keuangan itu hanya tersenyum kecut dan berkata, ''Wah, saya tidak tahu soal itu,'' kepada Robby D. Lubis dari TEMPO. Padahal, Jumat petang dua pekan lalu, di ruang kerjanya, Mar'ie menerima Amiruddin Saud. Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) ini meminta penjelasan tentang lima pucuk surat dari (eks) Kantor Menteri Muda Keuangan kepada PT Surveyor Indonesia (SI), yang dikirim secara berturut-turut pada tanggal 9 hingga 28 Februari lalu. Jadi, kira-kira sebulan sebelum pergantian kabinet. Isi surat: menetapkan harga patokan impor di luar bea masuk tambahan untuk enam komoditi impor. Tercantum di situ, setiap ton polypropelene (bahan baku pipa pralon), ditetapkan harga impornya US$ 784 soda kaustik (pencuci tekstil), US$ 471 formic acid (penggumpal karet), US$ 765 sorbitol (pemanis pasta gigi), US$ 600 sodium sulfat (bahan pengawet makanan), US$ 150 serta kertas kantong semen, US$ 625. Harga patokan ini tentu saja terasa mencekik leher importir. Sebut saja formic acid. Dengan harga yang hampir 250% lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar di negara asalnya, pabrik karet mana yang mau membelinya? Begitu pula dengan lima komoditi lain yang harganya dilipatkan 2 hingga 3 kali lebih mahal. ''Mengapa tidak sekalian saja dilarang impor?'' kata Amiruddin, yang mengaku diberondong telepon keluh kesah puluhan anggota GINSI. Tak ayal, ia pun menghubungi pihak SI. Seperti diketahui, dua tahun belakangan ini secara bertahap SI mengambil alih pekerjaan Societe Generale de Surveillance (SGS) dari Swiss sudah beroperasi di sini sejak 1985. Maka, Amiruddin menganggap SI-lah yang kini berkompeten menentukan harga impor. Sebab, menurut Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 1991 tentang kelancaran arus barang, harga patokan barang impor (HPI) dulu dikeluarkan Departemen Keuangan ditiadakan. Lalu, untuk menentukan bea masuk bagi tiap barang impor, patokannya adalah harga dalam laporan pemeriksaan surveyor (LPS), yang sesuai dengan harga di negara asal barang. Jadi, ''Adanya enam surat Menmud Keuangan itu jelas tak sesuai dengan instruksi Presiden karena menghidupkan kembali HPI,'' protes Amiruddin. Namun, SI pun tampak tak bisa berbuat banyak. Direkturnya, Nyoman Moena, mengambil sikap yang ''praktis-praktis'' saja. ''Tugas kami memperlancar arus barang impor. Soal penentuan harga, itu wewenang Pemerintah,'' jawab Moena. Dalam suratnya, bekas Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura ada memberi alasan bahwa penetapan harga patokan itu untuk melindungi produksi dalam negeri. Memang, kalau dilihat dari data Pengembangan Kapasitas Produksi Nasional 1987-1994, di situ tercantum beberapa produk industri kimia dasar yang perlu diperhatikan karena tampak menguat. Kantong semen, misalnya. Dengan pabrik terpadu di Aceh, yang berkapasitas 135 ribu ton per tahun, bukan hanya kebutuhan domestik terpenuhi, tapi juga bisa ekspor. Begitu juga sorbitol dan formic acid. Sayang, soda kaustik, sampai akhir tahun ini pun, tampaknya belum tentu mampu mengejar pertumbuhan permintaan. Industri tekstil masih perlu soda kaustik impor. ''Kalaupun ada yang diekspor, seperti juga polypropelene, itu semata-mata untuk menjaga dan menyiapkan pasar masa depan. Bukan karena produksi kita berlebih,'' ujar sumber TEMPO di Departemen Perindustrian. Jelas, impor masih diperlukan. Hal ini disadari para importir, sehingga, meski banyak yang tak mengimpornya lagi dan beralih komoditi sampai saat ini belum terdengar ada importir yang sampai bangkrut gara-gara peraturan ''baru'' itu. Tapi beberapa importir soda kaustik, yang sebelumnya biasa mendatangkan barang itu dengan jumlah 3.000 ton sekali impor, sekarang mengambil jurus impor bergelombang. Agar tidak terkena ''peraturan tata laksana impor'', pengusaha membeli dalam kemasan lebih kecil, seukuran kaleng minyak tanah dengan nilai kurang dari US$ 5.000. ''Bagaimana seterusnya, tinggal atur saja sama Bea Cukai,'' kata seorang pengusaha tersenyum. Kucing-kucingan ini tak berlangsung lama. Sekitar awal bulan lalu, sebuah perusahaan sekonyong-konyong bebas mengimpor soda kaustik dengan harga lama: US$ 135 per ton. Kontan para importir menjerit dan minta Amiruddin membicarakannya dengan Surveyor Indonesia dan Departemen Keuangan. ''Ini kan pertanda adanya kolusi,'' sumber TEMPO itu menekankan. Dalam pembicaraan Jumat petang itu, Mar'ie lalu menegaskan surat-surat Nasrudin bukanlah SK Menteri Keuangan. Tapi semata- mata katebelece yang tak berstatus sebagai peraturan. Artinya, otomatis tidak berlaku. ''Secara spontan beliau menyatakannya dicabut,'' tutur Amiruddin. Meski demikian, tampaknya Mar'ie tak mau gegabah. Sebab, berbeda dengan katebelece yang lumrah, surat Nasrudin ini tak sekadar memo. Surat itu berkop resmi kantor Pemerintah alias berstatus produk hukum. ''Untuk mencabutnya, diperlukan produk hukum juga,'' kata Agus Haryanto, Kepala Biro Hukum dan Humas Depkeu, yang saat ditemui mengaku belum mendapat order untuk segera menyusunnya. Apa kata Nasrudin tentang kisruh yang timbul gara-gara katebelece yang dikeluarkannya? ''No comment.'' Nah, inilah jawaban ''pintar'' yang bisa ditafsirkan macam-macam. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini