Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menjelaskan alasan melarang semua perusahaan mengekspor batu bara selama sebulan, 1 sampai 31 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan ini dibuat untuk menghindari pemadaman listrik bagi 10 juta pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kenapa semuanya dilarang ekspor? terpaksa dan ini sifatnya sementara,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ESDM Ridwan Jamaludin dalam keterangan resmi, Sabtu, 1 Januari 2021.
Pernyataan ini disampaikan Ridwan dalam acara Sosialisasi Kebijakan Pemenuhan Batu Bara dengan pengusaha yang digelar di hari yang sama. Ridwan menjelaskan larangan terbit karena kurangnya pasokan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU di dalam negeri.
Kekurangan pasokan ini berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PLN. Mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali), maupun non-Jamali. “Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 mega watt (MW) akan padam,” kata dia.
Situasi tersebut, kata Ridwan, berpotensi menggangu kestabilan perekonomian nasional. Tapi saat pasokan batubara untuk pembangkit sudah terpenuhi, maka situasi akan kembali normal dan keran ekspor bisa dibuka lagi. “Kami akan evaluasi setelah tanggal 5 Januari 2022 mendatang," kata dia.
Pemerintah, kata Ridwan, telah beberapa kali mengingatkan kepada para pengusaha batubara untuk terus memenuhi komitmennya untuk memasok batubara ke PLN. Namun, realisasinya pasokan batu bara setiap bulan ke PLN di bawah kewajiban persentase penjualan batubara untuk kebutuhan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO).
Sehingga, akumulasi kejadian ini membuat pembangkit PLN mengalami defisit pasokan batu bara di akhir tahun 2021. Menurut dia, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi.
Tapi dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada. “Bila tidak segera diambil langkah-langkah strategis maka akan terjadi pemadaman yang meluas," kata dia.
Sebelumnya, larangan ini disampaikan Ridwan kepada dalam surat tertanggal 31 Desember 2021. "Dalam rangka mengamankan pasokan batu bara untuk kelistrikan umum, serta mengantisipasi kondisi cuaca ekstrim pada bulan Januari 2022 dan Februari 2022," demikian tujuan larangan tersebut, dalam salinan surat yang diterima Tempo, Sabtu, 1 Januari 2021.
Surat berisi larangan tersebut disampaikan Ridwan kepada seluruh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Lalu, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan Batu Bara.
Dalam surat tersebUt, Ridwan juga menyampaikan sudah ada surat sebelumnya dari Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada 31 Desember 2021.
Lewat surat itu, PLN menyampaikan kondisi pasokan batu bara saat ini kritis dan ketersediaan batu bara sangat rendah. Kondisi tersebut disebut akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional.
Selain melarang ekspor, ESDM juga mewajibkan perusahaan memasok seluruh produksi batu bara mereka untuk memenuhi kebutuhan listrik guna kepentingan umum sesuai kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Bila terdapat batu bara di pelabuhan muatan atau sudah dimuat di kapal, maka ESDM meminta segera dikirim ke Pembangkut Listrik Tenaga Uap atau PLTU milik grup PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan Independent Power Producer (IPP).