Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Stafsus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengakui pembangunan smelter bauksit masih mandek. Padahal, pemerintah resmi melarang ekspor bijih bauksit per 10 Juni 2023.
"Kami ikuti perkembangannya. Mudah-mudahan dengan pelarangan ini yang tadinya tidak dilaksanakan, mereka akan ada upaya ke sana (membangun smelter)," tutur Irwandy ketika ditemui wartawan di komplek Kementerian ESDM pada Jumat, 18 Agustus 2023.
Dalam diskusi Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah pada Juni lalu, Irwandy memang mengatakan ada 12 smelter yang direncanakan untuk mendukung hilirisasi bauksit. Namun, baru 4 smelter yang siap beroperasi. Sedangkan 8 smelter lainnya, pembangunannya sangat lambat.
"Ketika dilaporkan memang berkisar 33 sampai 60 persen. Tapi Kementerian ESDM kirim tim untuk mengecek, ternyata dari 8 smelter, ada 7 yang masih (berupa) lapangan," ujar Irwandy.
Adapun saat ini dari smelter yang beroperasi itu kapasitas pengolahan bijih bauksit menjadi alumina atau aluminium baru mencapai 250 ribu ton. Kemampuan produksi ini bisa ditingkatkan jika ada smelter baru yang beroperassi. Setidaknya menjadi 750 ribu ton. "Sedangkan kebutuhan aluminium kita sudah 1 juta ton," tuturnya.
Ekosistem Belum Terbangun, Kebijakan Belum Pasti
Menanggapi lambannya pembangunan smelter bauksit, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pernah membeberkan kompleksitas masalah hilirisasi komoditas ini.
"Karena ekosistem rantai pasoknya memang belum terbangun. Sebagian hilirisasi, yang paling ujung, ada di luar negeri," kata Bhima ketika ditemui Tempo di Menara Rajawali Jakarta Selatan, Rabu, 14 Maret 2023.
Di sisi lain, kata Bhima, investor melihat belum ada kepastian atas kebijakan larangan ekspor mineral ini. Apalagi Indonesia sudah memasuki tahun politik. "Nanti kalau 2024 ganti pemimpin dan ekspor bauksit mentah lagi dibolehkan, ya rugi," ujar dia.
Perkara lambannya pembangunan smelter juga lantaran ada masalah pembiayaan. Perbankan, kata Bhima, terkesan ogah menyalurkan pembiayaan untuk hilirisai. Padahal, deposito dan likuiditasnya besar. Alasannya, kata Bhima, lagi-lagi karena ketidakpastian regulasi. "Mereka (para investor) sebenarnya menunggu kepastian pasca pemilu," ucap Bhima.
Pilihan editor: Sebut Smelter Nikel Cina Dapat Karpet Merah di RI, Faisal Basri: Tidak Membayar Royalti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini