Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyatakan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau mulai berkurang sejak Jumat, 28 Desember 2018. "Sehingga potensi terjadinya longsor besar yang memicu tsunami (susulan) sangat kecil," kata Sekretaris Badan Geologi, Antonius Ratdomopurbo dalam konferensi pers di Ruang Sarulla, Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Desember 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, tsunami akibat longsoran erupsi Gunung Krakatau di Selat Sunda terjadi pada Jumat, 22 Desember 2018. Bencana ini berdampak pada pesisir barat Banten serta Lampung Selatan. Dalam rilis BNPB per tanggal 25 Desember pukul 13.00, jumlah korban meninggal bertambah menjadi 429 jiwa. Selain itu, 1.485 orang menjadi korban luka-luka, 154 masih hilang, dan 16.082 jiwa mengungsi.
Purbo menjelaskan ada berbagai alasan mengapa potensi bahaya semakin berkurang. Pertama, tidak terdengar lagi suara dentuman sejak Jumat siang. Perubahan pola rekaman dentuman ini bahkan sudah dicatat oleh seismograph sejak Kamis malam, pukul 23.00 WIB, 27 Desember 2018.
Kedua, sisi volume Gunung Anak Krakatau juga telah berkurang banyak sejak letusan pertama. Saat ini, tinggal tersisa seperempat volume saja atau sekitar 40 sampai 70 juta meter persegi. Sisanya, telah longsor dan menyebabkan tsunami ataupun turun ke dasar laut. Sehingga, kemungkinan hanya akan terjadi longsoran kecil yang tidak memicu tsunami hingga daratan.
Ketiga, letusan yang bersifat impulsif atau sesaat setelah meletus tidak tampak ada asap keluar dari kawah gunung. Purbo menjelaskan bahwa saat ini, letusan-letusan yang masih terjadi hanyalah tipe Surtesyen karena kawah Gunung Anak Krakatau saat ini berada di posisi yang dekat dengan permukaan laut. Walhasil, magma yang keluar langsung bersentuhan dengan air laut. Ini sebabnya, Purbo menyebut potensi tsunami kecil pada tipe letusan seperti ini.
Walau begitu, penurunan aktivitas vulkanik ini belum sepenuhnya menandakan kondisi sepenuhnya aman. Status bencana siaga 3 masih diterapkan sehingga tidak boleh ada siapapun yang masuk ke kawasan kompleks Gunung Anak Krakatau. Bagaimanapun, kata Purbo, aktivitas vulkanik bisa saja mendadak meningkat bergantung pada aktivitas lempeng sesar di Selat Sunda. "Gunung api itu fluktuatif, bisa naik mendadak bisa turun, tak bisa diprediksi."
Baca berita tentang Tsunami lainnya di Tempo.co.