Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. masih memaksimalkan waktu untuk bernegosiasi dengan para krediturnya sebelum pengambilan suara penundaan pembayaran kewajiban utang (PKPU). Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengakui perundingan tersebut memakan waktu yang lama dan kompleks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi ini harus diakui adalah salah satu restrukturisasi yang kompleks karena nilainya besar dan melibatkan banyak pihak,” ujar Irfan saat ditemui di kantornya, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari situs resmi PKPU Garuda, emiten berkode saham GIAA itu memiliki tagihan yang diakui perusahaan senilai Rp 143 triliun. Jumlah tersebut tersebar untuk kreditur lessor, non-lessor, maupun kreditur preferen.
Daftar piutang tetap kepada 123 lessor sesuai jumlah yang diakui perusahaan adalah Rp 104,37 triliun. Kemudian daftar piutang non-preferen kepada 23 kreditur berjumlah Rp 3,49 triliun. Sedangkan daftar piutang tetap untuk lebih dari 300 kreditur non-lessor berjumlah Rp 34,09 triliun. Angka ini sesuai dengan tagihan yang diakui oleh perusahaan.
Adapun jadwal pengambilan suara persetujuan proposal perdamaian bagi kreditur pemegang hak voting akan berlangsung esok, Jumat, 17 Juni 2022. Dalam proses pemungutan suara nanti, Garuda memiliki target untuk memperoleh suara 50 plus 1 persen dari headcount kreditur. Selain itu, Garuda mesti mengejar 67 persen klaim dari kreditur non-preferen yang memiliki hak voting.
Irfan bercerita selama proses negosiasi, terjadi berbagai perubahan agar kreditur perseroan menyepakati proposal perdamaian. Misalnya, nilai penerbitan surat utang yang semula US$ 800 juta berubah menjadi US$ 825 juta karena permintaan kreditur.
Penerbitan surat utang itu merupakan salah satu instrumen restrukturisasi pembayaran kewajiban utang bagi kreditur dengan nilai tagihan di atas Rp 255 juta. “Tambahan US$ 25 juta itu major buat kita. Itu sudah nilai akhir karena ada yang minta US$ 50 juta. Akhirnya sepakat US$ 25 juta jadi US$ 825 juta,” ujar Irfan.
Irfan berujar mayoritas kreditur umumnya ingin memaksimalkan return atau pengembalian. “Ini ya melelahkan, tapi overall positif,” ucapnya.
Meski demikian, ia menyebut lebih dari 50 persen kreditur telah sepakat untuk mendukung proses PKPU Garuda. “50 persen kreditur (headcount) yang termasuk di dalamnya mayoritas lessor serta sejumlah kreditur dengan nilai kewajiban usaha yang cukup signifikan, akan mendukung proposal perdamaian pada pemungutan suara besok,” kata Irfan.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.