Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Penasihat Federasi Pilot Indonesia, Daryanto, melihat opsi pensiun dini yang diambil PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merupakan bentuk kebijakan panik. Daryanto mengungkapkan manajemen perusahaan semestinya memiliki opsi penyelamatan yang lebih tepat di masa krisis karena pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau saya lihat ini kebijakan panik. Panic decision based on emotion,” ujar Daryanto saat ditemui di kantor Garuda Indonesia, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Senin, 24 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Daryanto, perusahaan pelat merah justru akan menanggung biaya pengeluaran lebih besar di kemudian hari. Selain untuk membayar pesangon, ongkos jumbo bakal dikeluarkan Garuda sewaktu manajemen mempekerjakan kembali para karyawannya, khususnya pilot, pada saat keadaan mulai pulih tiga atau empat tahun mendatang.
Musababnya, Daryanto menyebut pilot yang vakum atau lama tidak mengoperasikan pesawat harus kembali mengambil pelatihan sebagai syarat sebelum menerbangkan maskapai. Pelatihan ini membutuhkan biaya yang relatif besar dan akan ditanggung oleh perusahaan.
“Jadi uang untuk pensiun dini kan bisa disimpat. One day, kita sudah prediksi 2023 sampai 2024 (bisnis) airlines akan kembali 100 persen,” ujar Daryanto.
Pensiunan pilot itu mengatakan Garuda sebelumnya pernah menghadapi berbagai krisis keuangan. Pada 1998, misalnya, Garuda mengalami kesulitan sehingga perusahaan harus mengambil kebijakan efisiensi.
Namun, ia menyebut manajemen saat itu memiliki berbagai opsi seperti menawarkan cuti tanpa tanggungan kepada karyawan. Perusahaan juga lebih dulu mencari pendanaan sebelum menawarkan pensiun dini agar pekerjanya tidak dirugikan.
“Golden shake hands diumumkan setelah dapat investor baru. Jadi karyawan milih bisa keluar dan dapat pesangon cukup besar,” ujarnya.
Manajemen Garuda sebelumnya telah mengumumkan akan mengambil opsi penawaran pensiun dini bagi karyawan sebagai langkah agar perseroan bertahan di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19. Garuda ditengarai menghadapi kerugian sampai Rp 70 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya tidak ingin berkomentar ihwal kerugian yang dialami perusahaan. “Saya dan tim ingin fokus ke urusan pensiun dini ini yang sangat penting diputuskan oleh setiap pegawai untuk ikut atau tidak,” katanya.