Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Goenawan Mohamad di London Book Fair 2019: Indonesia Baru Memulai

Goenawan Mohamad bicara di London Book Fair 2019 tentang sikap seorang penulis atau sastrawan.

14 Maret 2019 | 15.09 WIB

Goenawan Mohamad menandatangani novel perdananya Surti dan Tiga Sawunggaling di Hotel Monopoli, Jakarta Selatan. Kamis, 13 September 2018. TEMPO/Aisha Shaidra
material-symbols:fullscreenPerbesar
Goenawan Mohamad menandatangani novel perdananya Surti dan Tiga Sawunggaling di Hotel Monopoli, Jakarta Selatan. Kamis, 13 September 2018. TEMPO/Aisha Shaidra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Goenawan Mohamad bicara di London Book Fair 2019 tentang sikap seorang penulis atau sastrawan yang tak perlu berilusi untuk menjadi terkemuka karena karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Saya tak punya ilusi jadi mendunia karena karya-karya saya diterjemahkan ke bahasa lain,” kata penyair dan esais itu di Spice Café, paviliun Indonesia di London Book Fair 2019, di Olympia London, Rabu, 14 Maret 2019 waktu setempat.

Dalam pameran buku yang menghadirkan Indonesia sebagai Fokus Pasar dan diikuti ribuan penerbit dari 135 negara itu, Goenawan mengatakan buku belum menjadi perbincangan utama di Indonesia.

“Tak ada kritik. Tak ada diskusi sastra, tak ada majalah sastra. Pameran internasional dan festival sastra internasional yang diselenggarakan dan diikuti oleh Indonesia adalah urusan penerbit, pedagang, bukan urusan penulis,” kata esais Catatan Pinggir di majalah Tempo yang terbit setiap pekan itu.

Menurut penulis novel Surti dan Tiga Sawunggaling itu, dalam jagat perbukuan, Indonesia masih memulai, belum apa-apa dibandingkan banyak negara lain. Berbeda dengan kebanyakan penulis lain, Goenawan sebagai penyair tak pernah bermimpi menulis untuk diterjemahkan ke bahasa asing.

“Saya tak menulis untuk diterjemahkan ,” ujarnya. Apalagi jika yang diterjemahkan adalah puisi. Ada yang hilang dalam terjemahan, tutur Goenawan.

Pernyataan Goenawan itu berseberangan dengan pendapat Laura Bangun-Prisloo, Ketua Komisi Buku Nasional untuk London Book Fair 2019, yang juga jadi pembicara dalam diskusi bertajuk From Local Page to World Stage itu.

Menurut Laura yang juga direktur sebuah penerbitan di Jakarta yang banyak menerjemahkan buku-buku dari luar negeri itu, penerjemahan akan membuat penulis Indonesia lebih dikenal dunia.

Laura menambahkan bahwa penerjemahan karya-karya Andrea Hirata ke berbagai bahasa di dunia bukan cuma membuat nama pengarangnya tersohor di dunia tapi juga membuat banyak turis asing datang ke Belitung setelah membaca novel-novel Andrea.

Pembicara lain di London Book Fair 2019, Janet Deneefe yang juga dikenal sebagai aktivis pencetus gagasan Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali, mengatakan kegairahan sastra bisa dibangun lewat aktivitas literasi yang melibatkan penulis dan pembaca.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus