Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betul, sejauh ini, pemerintah memang masih berniat menyelamatkan bank berlogo jempol itu. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Subarjo Joyosumarto, dalam jumpa pers Kamis lalu, penyelamatan Bank Bali amat penting untuk menjaga agar pemulihan ekonomi tak terganggu. Namun, sumber TEMPO di pemerintahan memastikan, jika Rudy gagal memenuhi sejumlah syarat, "Bank Bali pasti masuk kotak."
Apa syaratnya? Yang pertama mungkin tak terlalu sulit: Rudy harus mencabut gugatan yang sudah dimenanginya di PTUN. Kamis lalu, Rudy memang datang menghadap Direktur Pengawasan Bank di Bank Indonesia, Siti Fajriah, tapi tak jelas apa yang dibicarakan. Kata sumber TEMPO, sih, "Ada indikasi kuat ia akan mencabut gugatannya."
Tapi itu saja tak cukup. Ada syarat kedua yang amat berat: Rudy harus menyediakan 20 persen biaya rekapitalisasi. Sisanya, 80 persen, sesuai dengan peraturan, akan menjadi tanggungan pemerintah. Nah, menurut sumber TEMPO, kebutuhan tambahan modal bagi Bank Bali kini mencapai Rp 5,5 triliun alias membengkak Rp 1,4 triliun dari posisi Februari lalu. Artinya, untuk menghidupkan Bank Bali, Rudy harus menyediakan Rp 1,1 triliun dana kontan. Bagaimana jika Rudy tak mampu? "Mau apa lagi? Bank Bali harus ditutup," kata seorang pejabat di Departemen Keuangan.
Tapi mengapa beban rekapitalisasi itu ditanggung Rudy? Bukankah peraturan menyebutkan bahwa pemegang saham mayoritaslah yang harus menginjeksi tambahan modal, di samping pemerintah? Dan dalam Bank Bali, bukankah kepemilikan keluarga Ramli kini tak lebih dari belasan persen saja? Bukankah mayoritas saham Bank Bali kini dikuasai Deutsche Bourse Clearing (DBC)?
"Semua pertanyaan itu benar adanya," kata sumber TEMPO. Tapi, sumber ini melanjutkan, pemerintah punya dugaan kuat bahwa tokoh misterius di belakang DBC tak lain tak bukan adalah Rudy sendiri. "Buktinya," kata sumber ini, "Rudy tak menolak ketika diminta bertanggung jawab atas injeksi modal Bank Bali."
Lepas dari siapa yang harus menyuntikkan modalnya, harus diakui, persyaratan menghidupkan Bank Bali terlalu berat dan kaku. Biasanya, jika pemegang saham tak punya cukup uang untuk menyetor 20 persen tambahan modal, selalu ada jalan tengah: pemerintah mengambil alih kepemilikan bank dan menanggung seluruh biaya rekapnya. Tapi mengapa pilihan itu tak diberikan kepada Bank Bali? Menurut sumber TEMPO, opsi take-over itu sudah tertutup rapat-rapat bagi Bank Bali. Soalnya, "Rudy sudah menggagalkan upaya pemerintah mengambil alih Bank Bali lewat pengadilan."
Rudy sendiri belum bisa membuka langkah-langkah dan strateginya. Kepada TEMPO, ia hanya menyatakan niatnya untuk sekuat tenaga membantu pemerintah dalam merekapitalisasi Bank Bali. Bagaimana caranya? Cari duit sendiri atau cari investor baru? Sayang, Rudy tak mau menjawab. Ia hanya menepis spekulasi bahwa dirinya berada di balik layar DBC. "Jangan macam-macamlah," katanya.
Tapi, apa pun siasatnya, yang pasti Rudy tak bisa bersantai. Juni nanti, tingkat kecukupan modal semua bank (yang diukur dari rasio modal dengan aset berisiko) harus mencapai empat persen. Padahal, posisi Bank Bali sangat buruk. Berdasarkan laporan keuangan September lalu, tingkat kecukupan modal Bank Bali minus 49,58 persen. Jika tak segera diinjeksi modal, kondisi Bank Bali bisa makin buruk. "Bank Bali merugi Rp 20-30 miliar tiap bulan," kata Budijanto Suryadi, Manajer Operasi Bank Bali. Artinya, makin ditunda rekapitalisasinya, makin besarlah kemungkinan Bank Bali dijemput Elmaut.
Jika itu terjadi, tampaknya bukan cuma keluarga Ramli, pendiri Bank Bali, yang berduka. Dunia keuangan pun akan mulai merasa guyah. Bagaimana mungkin sebuah bank yang selama ini dikenal prudent bisa roboh begitu saja? Sementara itu, bank-bank lain yang lebih keropos tetap berdiri dengan pongahnya.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo