Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan kenaikan harga telur belakangan ini disebabkan oleh peningkatan biaya produksi. Ia berujar terjadi perubahan biaya produksi di tingkat peternak, khususnya variabel biaya pakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Berdasarkan Struktur Ongkos Usaha Tani (SOUT), biaya pakan berkontribusi sebesar 67 persen dari biaya pokok produksi telur, dengan 50 persen pakan adalah jagung giling,” ujar Arief dalam keterangannya pada Senin, 22 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, ia menilai pembenahan harus dimulai dari tingkat hulu sehingga secara sistematis akan turut membentuk harga di tingkat hilir. Dengan demikian, Bapanas menyatakan akan memprioritaskan stabilisasi harga pakan agar menjaga biaya produksi di tingkat peternak tidak semakin melonjak.
Arief menilai ekosistem perunggasan sangat erat kaitannya dengan jagung sebagai salah satu komponen utama pakan ternak. Dalam rangka menjaga stabilisasi pasokan dan harga jagung, Bapanas menyatakan akan meningkatkan fasilitasi distribusi pangan (FDP) komoditas jagung dari petani atau gapoktan kepada peternak.
Adapun harga telur berdasarkan Panel Harga Pangan per 21 Mei 2023, secara rata-rata nasional berada di Rp 31.276 per kilogram. Sementara itu, untuk harga per Kabupaten/Kota, harga telur terpantau beragam dan dinamis. Harga telur di bawah Harga Acuan Pembelian/Penjualan (HAP) RP 27.000 per kilogram terdapat di 66 kabupaten/kota atau 14,44 persen.
Selanjutnya: pasokan jagung yang lancar menurunkan biaya produksi
Sedangkan harga telur yang terpaut sedikit di atas HAP atau di kisaran Rp 27.001 per kilogram sampai dengan Rp 29.999 per kilogram terdapat di 84 Kabupaten/kota. Sedangkan, mayoritas atau sebagian besar harga telur saat ini berada di kisaran Rp 30.000 per kilogram sampai dengan Rp 34.999 per kilogram
“Harga ini tidak terlepas dari biaya input/pakan saat ini serta naiknya biaya distribusi ke wilayah non produsen,” ujar Arief.
Arief berujar pihaknya akan terus mendorong fasilitasi distribusi jagung dari NTB dan Sulawesi Selatan ke wilayah produsen telur di Jateng, Jatim, dan Lampung. Ia mencatat distribusi jagung telah mencapai 1.100 ton dan masih berproses pendistribusian ke Solo Raya 100 ton.
"Dengan pasokan jagung yang lancar akan dapat menurunkan biaya produksi,” tuturnya.
Di sisi lain, dia menilai bantuan sosial atau bansos telur dan daging ayam juga bisa menjadi salah satu langkah strategis untuk mengendalikan keseimbangan harga telur dari hulu hingga hilir. Ia mengatakan bansos ini akan terus ditingkatkan intensitas penyalurannya melalui BUMN Pangan ID FOOD. Langkah ini diharapkan dapat membuat pasokan di tingkat peternak diserap dengan harga yang baik.
“Jadi melalui bantuan ini di hilir juga ditekan agar tidak terjadi lonjakan inflasi. Sementara di hulu kita jaga harga di peternak tetap baik, agar peternak dapat melanjutkan produksi dan meningkatkan produktivitasnya," kata dia.
Apabila kewajaran harga di peternak tidak dijaga, ia memperkirakan bisa berdampak pada menurunnya jumlah peternak. Menurutnya, akan banyak peternak mandiri kecil yang tidak berproduksi sehingga terjadi penurunan produksi telur nasional.
Pilihan Editor: Harga Telur Tembus Rp 40 Ribu per Kilogram Lantaran Distribusi Tak Normal, Apa Artinya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini