BANJIR besar Sungai Bahbolon yang menyergap Kecamatan Air Putih, Asahan, akhir bulan lalu, sedikit pun tak mempengaruhi kelancaran kerja pabrik peleburan aluminium PT Inalum di daerah itu. Rupanya, lokasi pabrik seluas 200 hektar di muara Sungai Tanjung di tepi Selat Malaka itu sudah dirancang cukup aman. "Oktober ini kapasitas maksimal pabrik 225.000 ton aluminium ingot setahun akan terwujud," kata Agustar Idris, manajer umum PT Inalum di Jakarta kepada TEMPO. Artinya, 500 tanur pelebur di situ, yang selama ini baru terpakai sebagian, akan terpakai serentak. Malah belakangan terbetik cerita, ada usaha akan memperbesar kemampuan pabrik menjadi 360.000 ton per tahun. Niat itu diungkapkan Norishige Hasegawa, presiden direktur Sumitomo Chemical Co., salah satu dari 12 perusahaan Jepang yang membiayai 75% dari proyek bernilai US$ 2 milyar itu. Tampaknya, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi niat itu. Di antaranya, karena pabrik peleburan aluminium di Jepang menurunkan kapasitas terpasangnya dari 1,6 juta ton per tahun pada 1978, jadi tinggal 700.000 ton. Hal itu berkat anjuran pemerintah setempat dalam kaitan menghemat listrik - peleburan aluminium adalah industri yang terkenal amat rakus listrik. Pabrik di Kualatanjung bisa berjalan karena menggunakan listrik murah dari dua air terjun di Sungai Asahan. Kondisi di negerinya, menurut Hasegawa, menyebabkan "Industri aluminium Jepang kehilangan daya saingnya." Ini penting artinya, karena sampai kini seluruh ekspor aluminium Asahan ditujukan ke negeri Hasegawa. Lebih dari itu, kepulihan sementara negara industri dari resesi cukup punya arti. "Sejak enam bulan yang lalu, harga alumini mencapai US$ 1.600 per ton," kata Agustar gembira. Begitu pabrik Inalum mulai berproduksi, Januari 1982, suasana memang sangat tak menguntungkan: harga aluminium di pasar dunia beringsut turun tinggal US$ 1.100 per ton, dari harga tertinggi US$ 2.000, tiga tahun sebelumnya. Ekspor pertama pabrik itu. Oktober berikutnya, berhasil mendapat harga di Jepan, US$ 1.500 per ton - tampaknya berkat konsorsium pembeli di sana terdiri dari perusahaan penanam modal di Inalum sendiri. Itu pun, ternyata, pada kapal Ocean Prima milik PT Samudera lndonesia (berbobot 16.000 ton) yang mengangkut alumunimum itu ke Jepang, hanya termuat batangan aluminium separuhnya. Gerak selanjutnya terlihat seret. Sampai semester awal tahun lalu, ekspor logam berbahan baku bauksit itu cuma 80.000 ton, dan untuk tahun ini (1983/1984) direncanakan 100.000 ton lagi. Pasaran lokal juga sulit diharapkan sampai semester pertama 1983 cuma terjual 5.500 ton. Beberapa konsumen aluminium di sini lebih memilih mengimpor aluminium, karena harganya jauh lebih murah dibanding Inalum yang US$ 1.500 perton. Tapi sekarang, setelah harga membaik, tidak tertutup kemungkinan memperbesar kapasitas pabrik itu. Memang, sesuai dengan perjanjian induk pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Jepang, 7 Juli 1975, yang mendasari pendirian proyek itu, kapasitas terpasang pabrik bisa saja dinaikkan 130.000 ton sampai 135.000 ton lagi. "Tapi diperlukan tambahan tenaga listrik 300 MW," ujar Agustar, untuk memperbesar tenaga listrik yang ada sekarang, yang berkapasitas terpasang 604 MW. Walaupun demikian, orang PT Inalum itu belum berani mengatakan, perusahaannya betul akan melakukan ekspansi. Itu karena pabrik yang sudah berproduksi lebih dari dua tahun itu sampai sekarang belum pernah beroperasi dengan kapasitas penuh. Padahal, biaya yang dipertaruhkan sudah tak tanggung-tanggung: US$ 2 milyar. Dan yang paling membuat mereka ragu, meski harga aluminium - bahan baku Industri mobil, kapal terbang, dan industri bangunan itu - membaik, ternyata cadangan aluminium dunia kini cukup melimpah, yaitu sekitar dua juta ton. "Seharusnya, yang dianggap baik, cukup satu juta ton saja." katanya. Pertama kali proyek itu dibangun, pemerintah Indonesia mmbiayai 25% dari harga proyek, sisanya oleh 12 pengusaha Jepang. Tapi beban mereka itu menjadi ringan karena pemerintah Jepang, lewat Dana Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Jepang, (OECF), memberi bantuan kredit 37,5% dari nilai proyek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini