BUKU bacaan Anda akan naik sedikitnya 15% bulan Juli nanti, saat Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa (PPN) mulai berlaku. Kenaikan itu tak bisa dielakkan lagi, sesudah Menteri Keuangan Radius Prawiro, akhir Mei, menegaskan bahwa penyerahan buku dari percetakan ke penerbit kena PPN 10% dari biaya cetak. Dan penyerahan dari penerbit ke penyalur kena pula PPN 10% dari harga jual buku. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), yang jumlahnya 240 itu, hari-hari ini tampaknya harus menghitung kembali harga jual semua buku yang akan dan sudah diterbitkannya. Menurut ketua Ikapi Pusat Rozali Usman, ancar-ancar kenaikan 15% itu terdengar dari pembicaraan tidak formal sejumlah penerbit belakangan ini. "Kalau mengingat daya beli masyarakat kini masih lesu, kenaikan paling tinggi 10% masih mungkin," katanya. "Tapi di bawah angka itu, tidak bisa." Bagi percetakan, PPN itu mau tak mau harus dipungutnya, mengingat bahan baku - seperti film, tinta cetak, dan pelat - yang mereka beli untuk melipatgandakan barang cetakan juga kena pajak serupa. Dengan bahan baku inilah percetakan kemudian menjual jasanya pada penerbit. Ongkos cetak ini, menurut Rozali, biasanya berkisar "antara 30% dan 40% dari seluruh biaya produksi". Besar kecilnya ongkos ini jelas banyak ditentukan pula oleh besar kecilnya jumlah buku yang dicetak. Dengan demikian, baik pencetak, penerbit, maupun penyalur kini mau tak mau harus memiliki pula Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan memiliki NPWP ini mereka bisa dengan mudah mengisi faktur pajak penyerahan barang, yang bisa digunakan sebagai buku bahwa yang bersangkutan telah membayar pajak masukan atau pajak keluaran. Tapi hakikatnya ketiga pihak itu hanya bertindak sebagai pemungut. Sebab, menurut surat Menteri Radius Prawiro 21 Mei kepada Ikapi itu, sesungguhnya: "PPN sepenuhnya ditanggung oleh konsumen." Kendati demikian, Rozali meminta agar pemungutan PPN itu hanya dilakukan dari pencetak ke penerbit saja - sebagai pajak masukan. Sedangkan penerbit, menurut dia tak perlu lagi memungut PPN ke penyalur sebagai pajak keluaran bagi penerbit. Alasannya, supaya buku itu tidak menjadi mahal karena dibebani pajak dua kali, sehingga menaikkan harga jual. "Demi buku itu sendiri, pemungutan pajak oleh penerbit itu dibebaskan saja," ujar Rozali. Jika usul itu dikabulkan, usaha pemerintah menjangkau subyek pajak baru, tentu saja, akan kandas. Disukai atau tidak, pengisian faktur pajak penyerahan barang itu juga dimaksudkan guna mengumpulkan data-data mengenai wajib pajak, yang mungkin selama ini luput dari pengamatan petugas pajak. Tapi, jika ditolak, harga buku jelas akan naik. Kata kalangan penerbit, tidak dipungutnya Menghitung Pajak Orang lain (MPO) atas penyerahan buku ke panyalur selama ini besar pengaruhnya dalam menekan harga jual. Penyalur pun terangsang menjual karena penerbit berani memberikan rabat sampai 30%. Rabat sebesar ini diberikan sesudah harga jual penerbit biasanya dinaikkan sekitar tiga atau empat kali lipat harga produksi sebenarnya. Setiap judul buku baru lazimnya dicetak sampai 5.000 eksemplar. Menurut Imam Waluyo, pimpinan Pondok Press dan Ketua Himpunan Masyarakat Pecinta Buku (Himapbu), titik impas baru bisa dicapai jika buku itu terjual 3.000-4.000 eksemplar. Sisanya tentu merupakan keuntungan penerbit. Tapi untuk mencapai titik impas itu, katanya, perlu waktu lama. Sebab, siklus penjualan buku itu, "Biasanya sekitar satu sampai tiga tahun," tambahnya. Karena itu, tak heran, "Setiap penerbit berusaha sebanyak-banyaknya menerbitkan beberapa puluh judul buku dalam setahun." Dalam surat kepada Ikapi itu, Menteri Radius juga merasa perlu menegaskan kembali tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) 1984 15% untuk penghasilan sampai Rp 10 juta, mlsalnya. Tapi Ikapi menganggap bahwa tarif minimal itu kelewat tinggi untuk dipikul pengarang, yang biasanya hanya membayar 7,5% untuk jumlah honorarium di atas Rp 150 ribu. Mengingat penghasilan pengarang rata-rata setahun masih di bawah Rp 2 juta, Ikapi mengimbau agar pada mereka ini "dlberikan keringanan semaksimal mungkin". Imbauan ini tak dijawab. Ketentuan UU PPh 1984 memang menyebutkan bahwa bila penghasilan seseorang setahun hanya Rp 960 ribu, maka yang bersangkutan bebas pajak. Tapi di atas itu tentu kena tarif minimal. Dalam surat itu Menteri Radius juga menyebut bahwa pembayaran PPh pengarang bebas dilakukannya sendiri, sedangkan dulu dipotong penerbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini