Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Demo di Monas hari Jumat ternyata tidak mengurangi nilai rupiah ataupun indeks harga saham gabungan (IHSG). Pada penutupan pasar Senin sore, nilai rupiah dan tingkat IHSG malah menguat ke level 13.440 per dolar Amerika Serikat, dari 13.512 pada Jumat. IHSG juga naik sedikit ke 5.268 dari 5.246 untuk periode yang sama.
Akhir-akhir ini rupiah memang mengalami tekanan yang cukup berat. Itu lebih karena ekspektasi pasar akan naiknya suku bunga dolar Amerika pada Desember ini ketimbang meningkatnya ketegangan politik di dalam negeri. Inilah yang membuat kekhawatiran sebagian analis dan pelaku pasar bahwa tingkat suku bunga rupiah akan sulit turun lebih jauh. Bahkan ada yang memperkirakan suku bunga rupiah pada 2017 naik karena langkah itu diperlukan untuk menjaga nilai rupiah sekaligus membantu mengurangi hengkangnya modal dari Indonesia.
Jika terjadi, kenaikan suku bunga akan menambah beban bagi para peminjam dan, jika pertumbuhan ekonomi tidak membaik, kredit bermasalah perbankan dapat juga meningkat. Ini berarti pertumbuhan pinjaman dan kinerja sektor perbankan akan tetap berat tahun depan. Akibatnya, kita tidak bisa berharap banyak dari peningkatan konsumsi.
Andalan jadi bertumpu pada belanja pemerintah untuk proyek infrastruktur dan naiknya investasi untuk memacu pertumbuhan. Namun, dengan defisit anggaran pemerintah yang dipatok di bawah 3 persen dan persaingan global yang ketat untuk menarik investasi, kedua sumber pertumbuhan ini ada batasnya. Ini mengapa banyak instansi memproyeksikan pertumbuhan 2017 hanya akan mencapai 5,0-5,1 persen, hampir serupa dengan tahun ini.
Tapi tidak semua segmen akan lesu. Harga beberapa komoditas sudah menunjukkan perbaikan. Selain itu, deposan, perusahaan asuransi dan pengelola dana pensiun, yang menempatkan porsi cukup besar dari investasinya di bank, akan memperoleh pendapatan bunga yang lebih baik.
Memproyeksikan pertumbuhan ekonomi memang tidak mudah. Terlebih untuk 2017, karena terjadi perubahan sentimen politik dunia yang cukup mendasar. Naiknya ketimpangan pendapatan, tingkat upah buruh yang stagnan, dan terbatasnya kesempatan kerja, khususnya di negara maju, membuat masyarakat di sana mempertanyakan tren globalisasi dengan arus perdagangan dan pekerja yang bebas.
Perubahan sikap ini tergambar pada hasil referendum di Inggris. Dan baru-baru ini pada pemilihan umum Amerika, ketika presiden terpilih Donald Trump berkampanye untuk melindungi industri dan pekerja di Amerika dengan proteksi tarif. Kampanye di kedua negara itu mencerminkan kekhawatiran akan dampak sosial yang terlampau cepat, tidak hanya karena globalisasi, tapi juga akibat cepatnya perkembangan teknologi, yang ternyata menguntungkan sekelompok kecil dan meninggalkan sebagian besar masyarakat. Hasilnya adalah pandangan yang lebih nasionalistis, mengerasnya politik identitas, juga pudarnya rasa toleransi terhadap kelompok minoritas.
Di Indonesia, masalahnya adalah toleransi, yaitu belum siapnya sekelompok masyarakat kita untuk dipimpin oleh seseorang dari kelompok minoritas. Pendemo Jumat, selain keberatan dipimpin seorang nonmuslim, meminta agar Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa, diadili dengan tuduhan penistaan agama atas ucapannya ketika berkampanye. Kita perlu menyaksikan awal tahun depan nanti: apakah mayoritas masyarakat Jakarta berpikiran serupa atau justru sebaliknya. l
*) KONTRIBUTOR TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo