Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebut lahan di Kepulauan Seribu cocok dipakai sebagai lumbung pangan (food estate) bagi DKI Jakarta pada 2025. Hal itu menurut dia berdasarkan hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia menilai Kepulauan Seribu kaya akan hasil laut seperti ikan, rumput laut, hingga ganggang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons wacana itu, Koordinator Sekretariat Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) Mida Saragih menilai, pemerintah perlu menunda penerapan wacana pembangunan lumbung pangan di Kepulauan Seribu itu. Apalagi, katanya, tidak sedikit proyek serupa yang dinyatakan gagal seperti di Pulau Pari, Pulau Panggang, dan Pramuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang diperlukan saat ini bagi Kepulauan Seribu adalah penanganan polutan, mengevaluasi kegiatan industri di sekitar Kepulauan Seribu, dan melakukan pemulihan secara bertahap," katanya pada Ahad, 24 Maret 2024.
Menurut Mida, penanganan polutan dan evaluasi industri bertujuan untuk meminimalisir kerusakan di Kepuluan Seribu, apabila dibangun proyek food estate. Menurut dia, untuk basis pengambilan kebijakan seperti food estate ini perlu didasari dengan kajian berbasis fakta serta pemetaan daya dukung lingkungan.
Selain itu, ujarnya, pemerintah perlu meminta pendapat dari masyarakat, khususnya di Kepulauan Seribu, sebelum membangun lumbung pangan di wilayah tersebut. Mida menyoroti soal komoditas rumput laut, yang disebut Heru Budi sebagai salah satu potensi dari rencana lumbung pangan. Ia menyebut sudah ada penelitian yang menganalisis kesesuaian kualitas lingkungan perairan dan faktor penyebab penurunan produksi rumput laut di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
"Rumput laut salah satu komoditas penting dan terdapat sebarannya di perairan Kepulauan Seribu, tapi produksinya sedang mengalami penurunan," ucapnya.
Dari hasil penelitian itu, katanya, disimpulkan bahwa rumput laut tidak dapat berkembang, karena adanya perbedaan antara kesesuaian perairan dengan fakta di lapangan. Adapun kandungan rata-rata polutan minyak dan lemak dalam musim hujan di perairan Kepulauan Seribu sebesar 23,17 mg/L maupun saat kemarau 26,83 mg/L. Angka tersebut jauh melampaui baku mutu sebesar 1 mg/L, sehingga berdampak negatif bagi pertumbuhan rumput.
Tingginya polutan minyak dan lemak yang melebihi baku mutu di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dinilai tidak sesuai untuk produksi rumput laut. Berdasarkan hasil temuan penelitian itu, Mida merekomendasikan agar pemerintah perlu memindahkan lokasi produksi rumput laut yang ada ke perairan yang lebih sehat.
Tak hanya komoditas rumput laut, ia juga menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu termasuk ke dalam kondisi buruk hingga sedang, berkisar 15,53 persen sampai 31,80 persen dari luasan karang yang ada. Pemerintah, menurut dia, perlu memberikan perlindungan yang serius dan konsisten bagi ekosistem pesisir di Kepulauan Seribu.
"Rekomendasi terhadap food estate adalah penundaan implementasi," ujarnya.