DIKETAHUI: Mahasiswa Fakultas Psikologi UI (FPUI) Rawamangun
mogok kuliah. Resminya selama seminggu, 19-26 Februari. Mereka
datang fakultas dengan jaket kuning, duduk-duduk di lantai ruang
depan. Ada yang membaca buku, ada yang hanya ngobrol.
Pengunduran diri Prof. Slamet Iman Santoso (TEMPO, 21 Februari)
yang disusul 23 dosen plus seorang karyawan administrasi, dari
jabatan struktural, mengakibatkan ada dua kelompok staf pengajar
yang tak akur. Ini dinilai mahasiswa sebagai tak sehat.
Buktinya: "dua mahasiswa minta daftar ujian ke Biro Pendidikan
Senin lalu," cerita Sigit, Ketua Senat Mahasiswa FPUI. "Tapi
biro itu tutup, karena pejabatnya ikut mengundurkan diri."
Keresahan itu pekan ini dicoba dicarikan jalan pemecahannya oleh
pihak Iluni (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia) dari Fakultas
Psikologi. Mereka mengadakan pertemuan Senin dan Rabu yang lalu.
Yang pertama atas inisiatif Munandar, dekan baru, yang kedua
inisiatif mahasiswa. "Memang Iluni tak punya kekuatan hukum
untuk mengubah SK Menteri, misalnya," kata Drs. Aswad Dipo,
Ketua Iluni Fakultas Psikologi yang lulus 1971. "Tapi kalau
pendekatan organisatoris tak ada pengaruhnya, barangkali
pendekatan manusiawi ada positifnya." Ia sendiri mengaku tak
begitu optimistik.
Keresahan memang telah memhayangi fakultas yang memiliki 450-an
mahasiswa itu sejak November tahun lalu -- sejak diketahui
Menteri P&K memutuskan mengangkat Prof. Dr. A.S. Munandar
sebagai dekan baru, menggantikan Prof. Dr. Saparinah Sadli.
Padahal dalam pemilihan calon dekan, Maret 1980, yang menang
suara --dengan perbandingan 38 lawan 21 -- adalah Dra. Melly
Suwondo (TEMPO 31 Januari). Keresahan pun makin terasakan ketika
awal Januari mahasiswa memasang poster di fakultasnya, memprotes
Munandar dan pemogokan kali ini adalah kelanjutan protes itu.
Surat pengunduran diri sejumlah staf pengajar itu pun hampir
semua beralasan: tak bisa memberi toleransi kepada kesediaan
Munandar diangkat sebagai akan baru. padahal ia kalah suara.
"Bukan salah Menteri, bukan salah siapa-siapa. Ini salah
Munandar," kata Prof. Dr. Fuad Hassan, Guru Besar FPUI, bekas
Dubes untuk Mesir yang juga menyatakan tak bisa bekerjasama.
"Sebagai guru bcsar, sikapnya tak bisa saya terima. Mengapa ia
tak mau berkonsultasi sebelum menerima tawaran Menteri? Mengapa
takut kehilangan muka kalau mundur, padahal ini masalah
pendidikan? Ia bilang seolah-olah dipaksa Menteri, padahal
sebenarnya ditawari dua jabatan," lanjut Fuad yang pernah
menjabat dekan FPUI 1973-76. Jabatan yang lain dimaksud Fuad
adalah Direktur di BP3K.
Memang ada contoh untuk keterangan Fuad itu. Untuk Fakultas
Teknik UI, Menteri P & K memanggil Ir. Sidharta -- yang kalah
dalam pemilihan calon dekan -- dan menanykan kesediaannya
menjadi dekan di situ. Tapi Sidharta belum bersedia menjawab
sebelum berkonsultasi dengan rekan-rekannya ia mengakui
kekalahannya dalam pemilihan. Benar, rekan-rekannya tetap tak
setujn dan Sidharta menolak tawaran Menteri. Bekas Gerilya
Mahasiswa FPUI sebenarnya telah berusaha agar pelantikan
Munandar oleh Rektor, Prof. Dr. Mahar Mardjono, batal. Di hari
pelantikan, Selasa pekan lalu, sejak pagi serombongan dari
mereka menduduki ruang sidang Rektor di gedung rektoriat
Salemba. Tapi Mahar lantas melantik Munandar di ruang kerjanya
-- tanpa sepengetahuan mahasiswa. Dan lima dekan lain
(fakultas-fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Teknik Hukum
dan Kesehatan Masyarakat yang sedianya dilantik bersama,
dilantik tersendiri di ruang rapat lantai III gedung rektoriat.
"Mahasiswa itu lupa, saya ini bekas gerilya," kata Mahar kepada
para wartawan, setelah berhasil melantik kesemua dekan itu
dengan diam-diam.
Adapun Mahar berkeras melantik Munandar karena Munandar telah
menyanggupi dilantik apa pun yang terjadi. Juga kini, setelah
mahasiswa mogok, Jumat pekan lalu kembali Mahar memanggil
Munandar, menanyakan kesanggupannya. "Pokoknya secepatnya dia
harus memulihkan keadaam Dia sudah menyatakan sanggup," tutur
Mahar kembali kepada TEMPO.
Munandar, 50 tahun, yang baru 6 Desember tahun lalu dikukuhkan
sebagai guru besar tetap di FPUI, tak bersedia banyak bicara.
Benarkah ia sulit menolak tawaran Menteri P&K? "Itu susah
digambarkan. Andai saya ceritakan itu berulang-ulang, kalau
orang sudah memakai kacamata begini, ya akan mengatakan begini.
Yang memakai kacamata begitu, ya begitu," katanya. Selasa siang
pekan lalu sehabis serah terima jabatan dekan.
Sumpah Pegawai
Tentang motivasinya untuk tetap berkukuh menjadi dekan: "Kalau
tidak ada yang saya -- atau kami -- yakini bisa menjadi lebih
baik, masak saya bersedia menjadi begini ini." Sayangnya ia tak
bersedia menjelaskan keyakinan itu.
Munandar lalu bergerak cepat. Rabu, hari sesudah pelantikannya,
untuk mengisi kursi pembantu dekan yang kosong -- karena Drs.
Enoch Markum, Dra. Melly Suwondo dan Dr. Singgih Gunarso,
masing-masing Pudek III, II dan I, mengundurkan diri -- ia
langsung mengangkat Dra. Angga Devi, Dr. J. Kandou dan Drs.
Sukiat. Memang bukan diangkat sebagai Pudek, karena yang
mengangkat Pudek pun sekarang harus Menteri P&K. Tapi sebagai
penjabat.
"Saya melihat fakta yang sekarang -- bahwa Munandar diangkat
sebagai dekan oleh pemerintah," kata Kandou, menjelaskan mengapa
ia bersedia bekerjasama. "Saya pejabat, saya pegawai negeri. Ada
sumpah pegawai."
Drs. Sukiat, yang agaknya diserahi menjalankan tugas Pudek III,
punya alasan sendiri. "Saya sebetulnya dengan Bu Melly Suwondo
pun baik. Saya memutuskan membantu Pak Munandar karena dia tak
pernah secara emosional mengeluarkan kata-kata hingga bisa
mengeluhkan keadaan," tuturnya. "Jadi ini masalah pribadi
sekali."
Semua saja dari pihak yang mengundurkan diri, selalu menjawab
'pimpinan baru ' yang harus bertanggung jawab menyelesaikan
kericuhan ini. Begitu juga Melly Suwondo yang tak suka banyak
bicara. Bagi Drs. Enoch Markum, penyelesaian itu hanya bisa
berarti pengunduran diri Munandar. "Tak ada jalan lain,"
katanya. Ia bersedia menemani dekan baru itu menghadap Menteri
P&K. Adapun Prof. Fuad Hassan lebih suka bila Rektor mengambil
alih jabatan dekan FPUI yang memiliki 90-an dosen tetap itu, dan
mengadakan pemilihan calon dekan sekali lagi.
Tapi bila pendekatan pihak Iluni -- yang menurut Aswad Dipo
"bisa diterima semua pihak" -- pekan ini berhasil, mungkin Mahar
tak perlu turun tangan. Kepada TEMPO ia berpesan: "Kalau
kegiatan akademis, terutama kuliah, belum berjalan lancar dalam
waktu dekat, baru saya turun tangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini