Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua II Bidang Ekonomi Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI) Robby Alexander Sirait mengapresiasi upaya pemerintah yang telah menurunkan persentase penduduk miskin menjadi 9,82 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akan tetapi, kata Robby yang menjadi soal dan tantangan saat ini adalah apakah parameter yang digunakan dalam mengukur kemiskinan tersebut sudah benar-benar mampu secara tepat untuk memotret kemiskinan yang sesungguhnya. "Atau sekurang-kurangnya sudah sangat dekat dengan realita 'kemiskinan' yang sebenarnya," kata Robby dalam keterangan tertulis, Ahad, 29 Juli 2018.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan penduduk Indonesia per Maret 2018 sebesar 9,82 persen, terendah sejak era krisis moneter (krismon) pada 1998. Pada 1998, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 24,2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robby mengatakan Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Per maret 2018, nominal GK sebesar Rp 401.220 per kapita per bulan.
"Pertanyaan adalah dengan parameter pengeluaran Rp 401.220 per orang per bulan, tepatkah angka ini dijadikan sebagai ukuran batas kemiskinan? Kalau mau jujur, angka garis kemiskinan tersebut masih tidak tepat dan jauh untuk jadi acuan kemiskinan," kata Robby.
Ilustrasi kemiskinan. Dok. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Menurut Robby ada beberapa hal yang mendasari parameter yang digunakan masih tepat dan masih jauh. Pertama perlu dibandingkan nilai garis kemiskinan yang sudah dikonversi dengan berapa kilogram beras yang dapat dibeli dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per bulan orang Indonesia.
Menurut Robby rata-rata konsumsi beras per orang per bulan sebesar 6 kg atau setara 200 gram per hari. Sedangkan garis kemiskinan hanya mampu membeli 1-1,5 kg per bulan atau 34-53 gram per hari.
"Artinya, seluruh nilai garis kemiskinan tersebut hanya mampu membiayai (sedikit) kebutuhan beras. Tanpa sayur, buah dan lauk pauk. Dengan demikian, terlihat sangat jelas bahwa nilai garis kemiskinan sangat kecil dan bukanlah ukuran yang tepat dalam memotret kemiskinan yang sesungguhnya," kata Robby.
Kedua, soal kalkulasi berapa kira-kira penghasilan minimal seorang kepala rumah tangga (RT) agar sekeluarga tidak dikatakan orang miskin. Saat ini jumlah orang per rumah tangga sekitar empat orang dan ia asumsikan hanya kepala rumah tangga yang bekerja.
Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka seorang (laki-laki) kepala rumah tangga harus berpenghasilan seminimal-minimalnya Rp 1.604.880 per bulan atau Rp 53.496 per hari. Besaran ini relatif sama dengan rata-rata upah buruh tani harian per maret 2018 yang sebesar Rp 51.598 per hari.
"Artinya rata-rata buruh tani kita sudah nyaris tidak miskin (karena upah hariannya sudah mendekati batas minimal garis kemiskinan per hari). Apa iya? Rasanya sangat tidak mungkin," kata Robby.
Ketiga, dibandingkan angka Rp 1.604.880 per bulan tadi (penghasilan minimal kepala RT agar tidak dikategorikan miskin) dengan rata-rata upah industri pengolahan yang sebesar Rp 2.174.000/bulan per menurut data BPS per desember 2014. Dengan perbandingan data ini, seolah-olah dapat menyimpulkan bahwa rata-rata semua buruh di industri pengolahan bukan masyarakat miskin.
Seorang petani sedang menambak garam di Desa Dasun, Lasem Rembang, Jawa Tengah. Tempo/Francisca Christy Rosana
Terakhir, jika dibandingkan antara angka garis kemiskinan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut BPS, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL juga menjadi dasar dalam penetapan Upah Minimum.
KHL per 2015 sebesar Rp 1.813.396/bulan. Padahal, kata Robby, KHL lajang saja sudah Rp 1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya.
"Dari keempat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan garis kemiskinan Rp 401.220 per kapita per bulan masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya," kata Robby.