TUMPUKAN utang negara kita sudah ibarat gunung yang menjulang tinggi. Dalam buku Tabel Utang Negara-Negara Tahun 1992 yang disusun Bank Dunia dan diluncurkan 15 Desember silam, terlihat bahwa utang Indonesia mencapai US$ 84 miliar. Angka itu cukup mengejutkan, karena utang kita pada tahun 1991 "baru" US$ 76 miliar, dan pada tahun 1990 "hanya" US$ 67 miliar. Dilihat dari laju pembengkakan utang itu, baik dalam persentase maupun volumenya, terkesan ada sedikit pengendalian. Memang, jumlah utang tahun 1992 naik US$ 8 miliar, sekitar 10% dibandingkan posisi tahun 1991. Namun, penambahan utang Indonesia pada tahun 1991 justru lebih besar, yakni 13%, senilai US$ 9 miliar dibandingkan posisi pada tahun 1990. Lebih menarik lagi, pembengkakan utang yang dilakukan tahun 1990 bahkan lebih besar, US$ 14 miliar atau 26% lebih tinggi dari posisi tahun 1989 (US$ 53 miliar). Laju pertumbuhan utang Indonesia yang agak melambat ini ada- lah hasil kerja tim pengendalian pinjaman komersial luar negeri (PKLN) yang dibentuk Pemerintah pada September 1991. Walaupun dikendalikan, perkembangan komposisi utang luar negeri itu te- tap saja mengerikan. Masalahnya, porsi pinjaman jangka pendek semakin besar, dan persentase pinjaman swasta ikut melonjak. Pinjaman jangka pendek jelas menimbulkan beban pembayaran yang relatif lebih besar, ketimbang cicilan jangka panjang. Sedangkan pinjaman swasta lebih berat syarat-syaratnya. Keadaan itu terpantul jelas dalam tabel yang disusun Bank Dunia. Pinjaman resmi Pemerintah, dalam catatan Bank Dunia, rata- rata dikenai bunga 5,2%, masa bebas cicilan 6,4 tahun, dan masa pengembalian rata-rata 21,9 tahun. Itu pun masih ada unsur hibah sekitar 33,4%. Sedangkan pinjaman swasta yang dijamin Pemerintah rata-rata dikenai bunga 6,9%, masa bebas cicilan cuma 3,6 tahun, serta masa angsuran sekitar 14,1 tahun. Unsur hibahnya sekitar 17%. Utang Indonesia berjangka pendek pada tahun 1992, dalam catatan Bank Dunia, ada US$ 18,21 miliar, sedangkan tahun sebe- lumnya berjumlah US$ 14,38 miliar. Sementara itu, utang swasta kini sudah mencapai US$ 33 miliar atau hampir 40% dari seluruh pinjaman luar negeri. Bahwa utang luar negeri Indonesia terus meningkat, itu adalah konsekuensi pembangunan, baik oleh Pemerintah maupun oleh perusahaan swasta. "Kalau program repelita mendatang akan dijalankan, harus ada peningkatan investasi pemerintah dan swasta. Jadi, pinjaman tak mungkin dikurangi," kata Ketua Perbanas Trenggono Purwosoeprodjo. Namun, ia berpendapat, sebenarnya bisa saja Indonesia mengurangi pinjaman. Tapi risikonya pajak harus digenjot dan masyarakat harus menanggung bebannya. Pengamat ekonomi Prof. Dr. Mohammad Sadli berpendapat, adalah wajar kalau utang In- donesia meningkat. Cuma saja, sementara utang jangka panjang Pemerintah belum bisa diturunkan, pinjaman swasta yang menggebu-gebu perlu dihentikan. Pemerintah tampaknya memang semakin memberikan peluang besar ke swasta untuk berperan dalam pembangunan. Dasawarsa lalu, peran Pemerintah dalam investasi sebesar 20%25%. Kini, "Peran anggaran pembangunan Pemerintah tinggal 15%20%," kata seorang pejabat tinggi di Departemen Keuangan. Dengan pinjaman US$ 84,35 miliar itu, Indonesia menjadi negara berkembang yang utangnya ketiga terbesar di dunia. Peminjam nomor wahid masih Brasil (US$ 121 miliar), disusul Meksiko (US$ 113 miliar). Berbeda dengan Brasil dan Meksiko, Indonesia berprinsip tidak akan pernah menunggak atau menolak membayar cicilan dan bunga utang. Brasil pernah menunggak utang alias "ngemplang" sehingga dia kini sulit mencari pinjaman baru. Meksiko, yang "menjual" sebagian utangnya dengan pinjaman baru yang lunak dari pemerintah AS (Baker Plan), malah kacau juga. "Dia tidak men- dapat pinjaman baru sehingga pembangunan terhenti," kata Sadli. Kendati utang semakin besar, untunglah ekspor Indonesia, yang menghasilkan devisa dan kemudian dijadikan pembayar cicilan dan bunga utang, masih meningkat lebih cepat. Itu terlihat dalam rasio beban cicilan utang pokok berikut bunga, dengan seluruh ekspor negara populer disebut DSR (debt service ratio). DSR tahun 1992 tercatat 32,1%, sedangkan tahun 1991 32,6%. Itu berarti, sepertiga hasil ekspor terpakai untuk membayar utang luar negeri. Bankir Trenggono berpendapat, dengan DSR setinggi itu, eko- nomi Indonesia belum kritis. "Idealnya sih di bawah 30%," kata Ketua Perbanas ini. Yang pasti, DSR itu sudah sulit ditekan. Maka, menurut Sadli, sudah waktunya Indonesia berupaya agar menurunkan DSP (debt service payment). DSP adalah cicilan pokok ditambah utang pemerintah dan swasta, yang dibagi atas nilai ekspor dari barang dan jasa. Da- lam jasa-jasa tercakup pariwisata, tenaga kerja Indonesia di luar negeri, angkutan laut serta udara. "Ekspor jasa Indonesia belum seberapa besar dibandingkan India, Filipina, dan Thailand," kata Prof. Sadli. Sejauh ini manajemen ekonomi Indonesia memang terkesan sangat mengandalkan pengembangan ekspor. Benar, trend ekspor terus meningkat. Hanya disayangkan, peningkatan itu terjadi di jalur nonmigas saja, sedangkan di jalur migas (minyak dan gas), justru menurun, terutama karena harga minyak cenderung turun. Wajarlah bila Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, pada 7 Desember lalu, mengeluarkan surat keputusan yang membatasi pengeluaran biaya dinas semua departemen. Di situ disebutkan, sisa anggaran perjalanan dinas yang boleh dicairkan sejak 10 Desember dibatasi maksimal 50%. Selain itu, Pemerintah membatasi penyelenggaran seminar, rapat kerja, dan pembuatan buku. Upaya Menteri Keuangan itu agaknya dalam rangka berjaga-jaga, apalagi pos pembayaran utang luar negeri menuntut dana yang lebih besar. Pembayaran utang luar negeri Pemerintah pada semester I tahun 1993-1994 semula dianggarkan US$ 3,4 miliar. Tapi, karena kenaikan kurs beberapa mata uang, realisasi pos itu naik sekitar US$ 450 juta. Upaya untuk menurunkan beban utang karena kenaikan kurs mata uang pernah dirintis Pemerintah pada tahun 1987-1988. "Berulang kali Pak Harto (Presiden Soeharto) sudah nyentil-nyentil soal ini. Tapi Jepang lebih cuka memberikan utang lebih banyak, ketimbang memberikan debt rescheduling," ujar Sadli. Hasilnya adalah pinjaman baru bersyarat lunak disebut special assistance loan yang diberikan cuma pada tahun 1988 dan 1989. Sementara itu, muncul gagasan untuk menjual saham-saham BUMN ke perusahaan di luar negeri. Ide ini datang dari pernyataan Presiden Soeharto, bahwa utang negara bisa dibayar dengan menjual sebagian aset BUMN. Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie kemudian mempertegasnya dengan mengatakan bahwa BUMN perlu menimba dana ke luar negeri. Hal itu tampaknya mungkin saja dilakukan jika BUMN menjual sebagian sahamnya langsung (private placement) ke perusahaan asing. PLN, misalnya, menjual saham ke Alsthom dari Prancis, atau Telkom menjual saham ke AT&T. Pola ini barangkali bisa dipakai, namun sebegitu jauh yang banyak terdengar adalah go international, yang menurut beberapa pakar persyaratannya berat dan rumit, hingga tak bisa segera dilaksanakan. Malah terakhir tersiar berita bahwa izin untuk go international telah lebih dulu diberikan Pemerintah ke swasta, yakni Salim Group, yang adalah konglomerat terbesar di Indonesia dan dipimpin oleh Liem Sioe Liong.Max Wangkar, Bambang Aji, Bina Bektiati, dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini