DIBOMNYA pelabuhan minyak Ahadan rupanya melecut pemerintah
Indonesia untuk lebih cepat lagi menyelesaikan proyek-proyek
pengilangannya. "Kita harus ngebut, supaya bisa lebih dahulu
dari Iran, kalau mereka membangun lagi setelah perang selesai,"
kata seorang pejabat pertambangan di )akarta pekan lalu.
Pejabat itu lalu menunjuk pada rencana pemerintah yang sudah
bulat ingin menggenjot perluasan kilang minyak di Cilacap,
Balikpapan dan Dumai. Bahkan rencana proyek pengilangan di
Sorong, Irian Jaya7 yang kelak diharapkan bisa menyuling 220.000
barrel minyak mentah sehari, tak lupa dia sebutkan. "Ke empat
proyek itu harus selesai pada akhir 1983," kata pejabat tinggi
itu. "Pada waktu itu Indonesia diharapkan bisa mengilang sekitar
800.000 barrel minyak mentah sehari," tambahnya optimistis.
Tapi Dumai? Berbeda dengan perluasan kilang Balikpapan dan
Cilacap yang langsung ditangani pemerintah, proyek hydrocracker
di Dumai'itu cukup lama terkatung-katung. Mulai dibicarakan pada
tahun 1977, baru beberapa waktu lalu pemerintah memutuskan
proyek itu akan dipegang oleh Pertamina. "Kini Pertamina menjadi
bouwheer (pemilik)," kata seorang pejabat di Departemen
Pertambangan.
Tadinya proyek yang rencananya akan menelan paling sedikit
US$ 800 juta itu diusahakan untuk dibiayai secara patungan,
antara lam dengan suatu konsorsium swasta Spanyol, Taiwan dan
Austria. Tapi usaha yang dirintis oleh Menteri Perdagangan
Radius Prawiro itu ternyata gagal. Satu dan lain hal karena
terbentur ketentur an undang-undang perminyakan. Di situ
disebutkan, tugas pokok pengusahaan minyak hanya boleh dilakukan
oleh perusahaan negara.
Tapi yang juga amat penting dalam mewujudkan proyek
hyirocracker ini adalah sumber pembiayaannya. Semula pemerintah
Spanyol menyatakan tertarik untuk memberi kredit ekspor sebanyak
US$ 290 juta. Dan pemerintah Austria siap memberi kredit ekspor
sejumlah US$ 150 juta.
Lalu New Hebrides Enterprises -suatu konsorsium yang
berkantor pusat di Hongkong dan di Indonesia bekerjasama dengan
pengusaha terkenal Liem Sioe Liong--akan menyediakan kredit US$
80 juta. Jumlah tersebut sama besarnya dengan dana yang tadinya
akan disediakan oleh Pertamina. Sisanya, sebanyak US$ 200 juta,
akan dicarikan di pasaran kredit Eropa melalui suatu konsorsium
bank yang dipimpin oleh Arnerican Express (Amex) cabang Hongkong
(TEMPO, 8 November).
Suasana kemudian berubah ketika rencana proyek hydrocracker
itu diputuskan jatuh sepenuhnya di pangkuan pemerintah. Dana
yang harus disediakan Pertamina pun tak lagi cuma US$ 80 juta,
tapi melompat menjadi US$ 360 juta. Ini termasuk yang semula
dijanjikan oleh New Hebrides dan lewat Amex. Sekalipun Amex masih
berharap untuk nenjadi pencari credit buat Indonesia.
Sebuah sumher yang mengetahui menyangsikan pemerintah
Indonesia serta merta akan menerima uluran kredit ekspor dari
Austria itu. Juga dari Spanyol. "Kredit ekspor yang menawarkan
banyak," kata sumber yang dekat dengan Bank indonesia itu.
"Kalau tawaran yang masuk dari Austria dan Spanyol nanti
ternyata lebih menarik dari negara-negara lain, ya kami terima."
Tidak Terikat
Banco Exterior de Espana (bank pemerintah Spanyol) kabarnya
pernah menawarkan kredit berjangka 10 tahun dengan sukubunga
7,6%. Sedang Oesterreische Kontrol Bank punya pemerintah Austria
menyodorkan sukubunga 7,3%, berjangka pengembalian 10 tahun.
Tapi menurut pejabat itu, dari Prancis misalnya, sudah datang
tawaran pinjaman yang lebih menarik. "Pokoknya Indonesia tidak
terikat pada tawaran suatu negara," katanya.
Tak disebutkan secara lebih jelas apa syarat-syarat yang
disodorkan Prancis, misalnya. Tapi menurut pejabat itu, "kredit
ekspor dari suatu negara tidak otomatis harus dikaitkan dengan
suatu kontraktor tertentu dari negara bersangkutan." Seperti
diketahui, dua kontraktor swasta dari Spanyol, Centurion dan
Technicas Reunidas, santer disebutsebut sebagai calon kontraktor
yang akan menggarap proyek hydrocracker di Dumai. Juga
kontraktor Voest Alpine dari Austria.
Menurut pejabat penting tadi, kontraktor dari Spanyol dan
Austria itu harus bisa bersaing dengan kontraktor dari negara
lain untuk memenangkan tender di Dumai. "Bisa saja swasta
Spanyol itu bekerja sama dengan pemerintahnya, agar lebih kuat,"
katanya. "Tapi penawaran dari mereka baru akan diterima kalau
barang-barang dan teknologi yang mereka miliki itu cukup bisa
bersaing--demikian juga persyaratan pembiayaan (cost of money)."
Baik dengan Spanyol maupun Austria sampai sekarang belum ada
suatu komitmen berupa kontrak. Hubungan dengan pihak Spanyol
memang terdengar gencar sewaktu proyek hydrocracker itu
direncanakan sebagai usaha patungan .
Kini, setelah Menteri Keuangan Ali Wardhana sendiri
mengumumkan bahwa cadangan devisa di Bank Indonesia sudah
mencapai US$8 milyar, kredibilitas pemerintah semakin menanjak
di pasar modal internasional. Untuk mencari utang yang US$200
juta pun pemerintah nampaknya tak begitu tertarik untuk meminta
jasa jasa Amex. "Kalau pemerintah bisa mencari sendiri, mengapa
harus melalui Amex?" kata seorang pejabat minyak. "Apalagi Bank
Indonesia sudah berpengalaman dalam soal soal mencari kredit
jangka pendek." Menteri Pertambangan dan Energi -Subroto, yang
dihubungi TEMPO pekan lalu, membenarkan keterangan itu.
"Indonesia sudah memiliki jalur kredit sendiri di luar negeri,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini