Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Ruang Setara Project Aulia Hakim mengkritik keputusan DPR menyetujui usulan Badan Legislatif (Baleg) tentang revisi Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara atau RUU Minerba. Revisi beleid tersebut di antaranya berisi tentang pemberian izin usaha pertambangan (IUP) bagi perguruan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Aulia, usulan pemberian IUP bagi perguruan tinggi merupakan langkah mundur tata kelola sumber daya alam. Terlebih, sebelumnya pemerintah telah memberi IUP kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Karena itu, Aulia menilai langkah DPR membuat usulan baru agar kampus ikut mengelola tambang mengindikasikan bahwa para elite politik tidak mampu menafsirkan dan mewujudkan Amanah UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 tentang pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mengapa tidak memberikan IUP untuk serikat pekerja buruh tambang, pemberdayaan perusahaan daerah, atau mendorong inisiatif nasionalisasi aset-aset tambang dari swasta saja,” kata Aulia melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 25 Januari 2025. “Kalau benar-benar mau tata kelola tambang yang lebih adil dan tepat sasaran, seharusnya bukan ormas keagamaan dan perguruan tinggi yang diberi akses mengelola tambang.”
Menurut Aulia, pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan maupun perguruan tinggi pada akhirnya akan menjadi bias kepentingan elite tertentu. Memberi kaveling operasi untuk kampus, kata dia, tidak menjamin perguruan tinggi bisa keluar dari masalah pendanaan instansi pendidikan lalu mampu menjawab kebutuhan rakyat. Aktivis lingkungan Sulawesi Tengah itu pun mendesak DPR tidak melanjutkan revisi UU Minerba. “Presiden Prabowo juga harus tegas dan mampu menafsirkan amanat konstitusi, bahwa sumber daya alam bukan untuk kemakmuran perorangan tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata Aulia.
Terlebih, Aulia menambahkan, aktivitas pertambangan kerap berdampak pada lingkungan. Dalam catatannya, di Sulawesi Tengah terdapat 1.150 IUP per 2021, yang meliputi pertambangan mineral dan batuan di 13 kabupaten/kota. Namun, praktik pertambangan itu menimbulkan deforestasi dan bencana ekologis, seperti banjir dan tanah longsor.
“Sumber daya alamnya menjadi kran cuan bagi kelompok elite, sedangkan bencana ekologis ditanggung rakyat,” ujar pria yang pernah menjadi pegiat lingkungan di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah ini.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menyatakan usulan pemberian izin usaha tambang secara lelang atau prioritas pada perguruan tinggi muncul dari pemerintah. Alasannya, pemerintah berharap dengan diberikannya izin ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Bob berujar, pemerintah menyadari bahwa peningkatan kualitas pendidikan membutuhkan fasilitas pendidik, tempat, sarana dan prasarana yang berkualitas. “Maka untuk anggaran itu diberikan peluang untuk setiap perguruan tinggi agar dapat mengelola pertambangan. Karena di situ ada unsur yang disebut bisnis,” tutur Bob.
Juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Alfarhat Kasman pun menilai usulan tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan akademisi. Sebab dengan memberikan izin tambang, pemerintah seolah-olah membebankan tanggung jawab finansial kampus begitu saja.
Seiring munculnya polemik, Ketua DPR Puan Maharani mengklaim pengusulan RUU Minerba dilakukan sesuai mekanisme yang ada di DPR. Ia tidak sepakat jika RUU Minerba terkesan dibahas secara tertutup dan mendadak karena telah melalui rapat pimpinan dan Badan Permusyawaratan.
Menurut Puan, Baleg DPR akan menerapkan meaningful participation. Ia akan memberi instruksi agar Baleg aktif meminta masukan dari luar, termasuk soal pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi. Puan mengatakan Baleg perlu datang ke kampus dan mengundang narasumber ahli untuk dimintai masukan.
"Ya makanya kami membuka diri untuk menerima masukan dari kampus," kata Puan di Komplek Parlemen Senayan, Jumat, 24 Januari 2025.
Hanin Marwah dan Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.