Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Musdalifah Machmud memerah. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian ini bicara semakin cepat saat menyinggung peran perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia. Ahad malam dua pekan lalu, Musdalifah meminta kesempatan bicara soal komoditas ini di depan rombongan Komite Parlemen dalam Perdagangan Internasional Eropa yang baru tiba di Riau.
Pertemuan yang digelar di rumah Wakil Bupati Riau Wan Thamrin Hasyim itu sempat memantik amarah Musdalifah. Gara-garanya, ia tak terima atas tudingan Uni Eropa soal produksi minyak kelapa sawit yang memberi efek negatif terhadap lingkungan. "Saya sampaikan bagaimana resolusi sawit itu menyakiti hati kami," kata Musdalifah menceritakan kembali peristiwa itu, Kamis pekan lalu. Kedatangan perwakilan Parlemen Uni Eropa ke Riau itu berkaitan dengan resolusi sawit yang dikeluarkan bulan lalu.
Pada 7 April lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi kelapa sawit yang disepakati 640 anggota. Laporan bertajuk On Palm Oil and Deforestation of Rainforests itu menyebutkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai penyebab utama deforestasi dan kebakaran hutan. Tudingan itu merujuk pada studi yang dilakukan Komisi Eropa pada 2013, yang menyatakan bahwa produksi minyak kelapa sawit Indonesia menyumbang sekitar 6 juta hektare dari 239 juta hektare kerusakan hutan global.
Tak cuma mempersoalkan kerusakan dan kebakaran hutan, resolusi Uni Eropa juga menuduh sawit merugikan masyarakat, termasuk melanggar hak asasi manusia karena mempekerjakan anak-anak. Itu sebabnya, Parlemen Uni Eropa setuju mengurangi penggunaan zat metil ester dalam biofuel mulai 2020. Resolusi juga menyepakati adanya kriteria minimum bagi semua produk yang terbuat dari kelapa sawit. Kriteria itu di antaranya harus bersifat berkelanjutan dan tidak dihasilkan dari penggundulan hutan. Buntutnya, resolusi ini berdampak pada penghapusan ide sertifikasi bagi produksi sawit Indonesia sekaligus mengancam keran ekspor sawit ke Eropa.
Menurut Musdalifah, para delegasi parlemen Uni Eropa perlu tahu soal pentingnya kelapa sawit bagi perekonomian nasional. Kepada 15 delegasi yang hadir, dia menjelaskan bahwa kehadiran perkebunan kelapa sawit menjadi satu-satunya cara untuk mengembangkan kawasan terpencil. Perkebunan kelapa sawit, kata Musdalifah, juga membuka banyak kesempatan kerja. "Rasanya menyakitkan bagi kami memikirkan apa yang akan mereka makan jika sawit yang menjadi mata pencarian mereka diboikot," ujarnya.
Sikap serupa ditunjukkan Dewan Perwakilan Rakyat saat para delegasi Uni Eropa mengunjungi Senayan, Jakarta, dua hari kemudian. Selepas pertemuan sekitar dua jam Selasa pekan lalu, Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen Nurhayati Ali Assegaf meminta resolusi sawit dibatalkan. "Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, komitmen global, dan sustainability development goals itu jelas," kata Nurhayati.
Eriko Sotarduga, anggota Komisi IV, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan masalah deforestasi akibat industri kelapa sawit semestinya tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, luas perkebunan kelapa sawit hanya 6 persen dari luas Indonesia. Isu penting yang perlu dipertimbangkan justru soal besarnya angka tenaga kerja yang terancam kehilangan pendapatan bila resolusi diterapkan. "Ada 4 juta tenaga kerja Indonesia secara langsung terlibat di industri ini yang akan membawa efek ganda terhadap 12 juta rumah tangga," ujarnya.
Pedro Silva Pereira dari delegasi Parlemen Uni Eropa mengakui ada temuan yang berbeda dari opini publik di Eropa setelah mereka mengunjungi perkebunan di Riau. Opini yang selama ini diperoleh, kata Pereira, selalu mempersoalkan bahwa pengelolaan kebun kelapa sawit di Indonesia tidak berkelanjutan dan mengabaikan hak asasi manusia. "Dari kunjungan kemarin, kami menyadari bahwa Indonesia berupaya menjalankan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan," ujarnya.
Pada Rabu pekan lalu, juru bicara Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa, Sajjad H. Karim, menyebutkan hal serupa. Ia mengakui ada beberapa kesalahpahaman mengenai industri minyak kelapa sawit di Indonesia. Dia berharap pertemuan dengan pemerintah, yang diwakili Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian, menjadi catatan Uni Eropa.
Meski begitu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution tak langsung puas. Menurut Darmin, perlu ada dialog lebih lanjut mengenai dokumen resolusi itu untuk mencapai satu kesamaan pikiran. Rencananya perwakilan pemerintah Indonesia akan mengunjungi Parlemen Uni Eropa pada Juli nanti. "Kami akan ke Brussels, berdiskusi dan presentasi lagi," kata Darmin setelah menerima delegasi Parlemen Uni Eropa di kantornya, Rabu pekan lalu.
Jalur diplomasi ini rencananya tak akan ditempuh Indonesia sendirian. Menurut Musdalifah Machmud, kunjungan ke Eropa akan melibatkan Malaysia. Sebagai negara produsen utama sawit nomor dua, Malaysia juga memiliki kepentingan menepis tudingan Uni Eropa. Dilansir di Reuters, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Mah Siew Keong mengatakan resolusi Eropa tidak adil dan membahayakan sumber mata pencarian petani kecil di Malaysia.
Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia. Total produksi keduanya berkontribusi 85 persen terhadap total produksi dunia. Sedangkan negara-negara Uni Eropa merupakan konsumen terbesar kedua minyak sawit Indonesia dan Malaysia. Tahun lalu Indonesia mengekspor 4,37 juta ton minyak sawit ke Uni Eropa dan Malaysia mengekspor 2,06 juta ton.
Tak lama sejak resolusi sawit Uni Eropa dirilis, Kementerian Perdagangan sudah bergerak. Kementerian yang dipimpin Enggartiasto Lukita ini membentuk tim kecil yang akan mengkaji solusi menghadapi tuduhan Parlemen Eropa tersebut. Sejumlah pengusaha diundang memberi masukan soal langkah yang perlu dilakukan pemerintah. Enggartiasto merasa yakin apa yang dituduhkan Parlemen Eropa tak terbukti. Apalagi sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sudah berjalan.
Pemerintah memang menunjukkan sikap satu suara menghadang tudingan Uni Eropa. Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, akan menempuh jalur diplomasi menghadapi resolusi kelapa sawit Uni Eropa. Amran mengatakan sudah berbicara dengan sejumlah perwakilan negara Eropa untuk membahas masalah ini. "Kami sudah berbicara dengan Menteri Pertanian Jerman, lalu sudah bicara juga dengan Spanyol dan Denmark," ujarnya.
Amran berpendapat pendekatan soal sawit semestinya tak hanya dari sisi deforestasi, tapi juga kesejahteraan komunitas petani dan pedagang di sektor tersebut. "Kalau harga (crude palm oil) turun karena mereka melakukan black campaign, yang terjadi hutan Indonesia semakin rusak."
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono mengatakan resolusi parlemen Eropa terhadap sawit Indonesia sebenarnya merupakan persoalan bisnis. Indikasinya, Eropa menyarankan penggunaan minyak canola dan minyak biji bunga matahari, yang penggunaan lahannya justru lebih tidak efisien ketimbang kelapa sawit. "Eropa itu importir minyak sawit terbesar, sementara mereka punya sunflower dan rapeseed sebagai tanaman strategis Eropa," kata Joko, Selasa pekan lalu.
Ayu Primasandi, Vindry Florentin, Diko Oktara
Negara Tujuan Ekspor Indonesia 2016 (Ribu Ton)
Komoditas minyak sawit dan turunannya diekspor ke lebih dari 50 negara. India, Cina, dan Pakistan menjadi negara terbesar pengimpor minyak sawit dan turunannya. Ekspor ke Uni Eropa merupakan gabungan dari beberapa negara anggota Uni Eropa.
Cina - 3.228
Uni Eropa - 4.371
India - 5.784
Amerika Serikat - 1.083
Pakistan - 2.067
Bangladesh - 923
Lainnya - 7.658
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo