Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasal Selundupan Di Badan Legislasi

Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat lebih banyak menguntungkan pemilik modal. Sanksi pidana kejahatan korporasi tidak diatur tegas.

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH aktivis lingkungan menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Selama hampir dua jam, mereka berbincang serius dengan Siti. Pada Jumat dua pekan lalu itu, seluruh staf eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hadir di sana. Chalid Muhammad, aktivis Wahana Lingkungan Hidup yang juga penasihat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ikut dalam pertemuan tersebut.

Malam itu, tiga lembaga swadaya masyarakat, yakni Sawit Watch Indonesia, Forest Watch Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menyerahkan kertas kebijakan mengenai Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Tiga lembaga--yang mewakili 13 organisasi--ini meminta Siti Nurbaya menolak RUU Perkelapasawitan, yang menjadi salah satu agenda prioritas Program Legislasi Nasional 2017.

Dalam kertas kebijakan berjudul "Mengapa Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan", para aktivis lingkungan itu menyebutkan ada tujuh alasan mengapa Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus segera menghentikan pembahasan RUU. "Menurut analisis kami, RUU ini berpotensi menimbulkan masalah baru," kata Castri Delfi Saragih, pegiat Sawit Watch Indonesia. Salah satunya adalah rendahnya sanksi pidana bagi kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup.

Menteri Siti Nurbaya mengatakan sedang meminta sejumlah bahan dari stafnya mengenai masalah ini. "Tapi saya belum bisa memberikan catatan apa-apa," ujarnya melalui pesan WhatsApp kepada Tempo.

Badan Legislasi DPR membenarkan sedang menyusun draf Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Undang-undang ini diharapkan memberikan perlindungan bagi industri sawit dari hulu hingga hilir. "Sekarang sedang finalisasi," kata Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR. Politikus Partai Golkar tersebut menargetkan rancangan itu selesai dibahas pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Ide penyusunan Undang-Undang Sawit ini, menurut Firman, sudah muncul sejak polemik mengenai Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) mencuat pada akhir 2015. Firman menuding IPOP--yang merupakan komitmen sejumlah perusahaan sawit besar menjaga dan mempromosikan sawit berkelanjutan tanpa deforestasi--sebagai biang kerok anjloknya produktivitas petani. Gara-gara IPOP, tandan buah segar petani tidak bisa masuk pabrik.

Menurut Firman, inisiatif DPR ini untuk meningkatkan produktivitas sawit, termasuk memastikan kesejahteraan petani dan memberikan jalan keluar bagi karut-marut perizinan. "Inisiatif ini juga melindungi industri kelapa sawit dari intervensi asing," ujar anggota Komisi Pertanian DPR tersebut. Itu sebabnya, calon beleid baru ini juga mewajibkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, sebagai standar nasional.

Tujuan inisiatif ini, kata Firman, agar pemerintah memiliki strategi yang jelas mengenai target CPO yang hendak dihasilkan dan luas kebun yang dibatasi. Firman berkaca pada Malaysia, kompetitor utama Indonesia. "Mereka memiliki regulasi yang rapi dan kuat," ujarnya. Indonesia perlu meniru Malaysia, yang memiliki Malaysia Palm Oil Board.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mendukung inisiatif DPR menyusun RUU Perkelapasawitan. Ia yakin beleid baru ini kelak memberikan proteksi bagi industri sawit. Ia menilai selama ini sawit, sebagai komoditas strategis, belum mendapat tempat yang sepantasnya. "Pemerintah semestinya all-out karena setiap kebijakan sawit memiliki dampak terhadap rakyat," kata Joko, Rabu pekan lalu.

Mendapat dukungan Gapki, Firman menggandeng Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyusun naskah akademik RUU. Naskah ini menjadi bahan penyusunan draf awal RUU.

Uji publik naskah akademik disampaikan dalam seminar bertajuk "Mengkaji RUU Perkelapasawitan" di Hotel Aryaduta pada 14 Desember 2016. Acara itu dihadiri Firman Soebagyo, Iskandar Andi Nuhung dari Dewan Minyak Sawit Indonesia, Fadhil Hasan dari Gapki, dan Asmar Arsjad dari Asosiasi Petani Kepala Sawit. "Saya sebagai moderatornya," kata Tofan Mahdi, juru bicara Gapki sekaligus Corporate Communication PT Astra Agro Lestari Tbk.

RUU ini sempat menjadi salah satu program Legislasi Nasional 2016. Selain itu, Firman Soebagyo menyorongkan RUU Pertembakauan. Hingga akhir 2016, RUU Perkelapasawitan tak kunjung dibahas. Pada Januari 2017, DPR dan pemerintah sepakat bahwa RUU Perkelapasawitan menjadi salah satu RUU prioritas yang akan diselesaikan tahun ini.

Naskah akademik RUU yang disusun Indef menyimpulkan bahwa kinerja perkelapasawitan Indonesia masih di bawah Malaysia. Produktivitas kelapa sawit Malaysia, terutama industri produk turunannya, lebih berkembang ketimbang Indonesia. Naskah akademik ini juga menyebutkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tidak cukup detail mendukung pengembangan perkelapasawitan.

Ekonom Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo, yang membantu Lembaga Kemitraan menyusun kajian terhadap RUU Sawit ini, berpendapat sebaliknya. Menurut dia, terjadi banyak pengulangan materi RUU Sawit dari UU Perkebunan. "Hampir 60 persen isinya sama," katanya.

Rimawan menyebutkan UU Perkebunan bahkan lebih komprehensif ketimbang RUU Perkelapasawitan. Di antaranya mengenai aspek perencanaan dan sanksi pidana. Jenis pelanggaran yang diatur di UU Perkebunan memiliki cakupan lebih luas ketimbang RUU Perkelapasawitan. Rancangan yang tengah dibahas di Senayan ini juga belum mengatur beneficiary ownership, kepemilikan nomor pokok wajib pajak, ketaatan pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak, serta kejahatan korporasi.

Dalam kajiannya, Rimawan menemukan draf rancangan undang-undang tak seluruhnya mengikuti materi naskah akademiknya. Ia mencontohkan munculnya "pasal selundupan" dalam RUU tersebut. Di antaranya klausul mengenai penggunaan lahan gambut yang difasilitasi pemerintah. Padahal naskah akademik yang disusun Indef menyatakan pembukaan perkebunan sawit di area gambut dan hutan alami berdampak negatif bagi ekologi.

Pasal lain yang disoroti Rimawan adalah munculnya klausul yang mewajibkan pemerintah memberikan berbagai fasilitas fiskal kepada para pemodal dan pelaku usaha budi daya, dari keringanan pajak pendapatan, keringanan bea impor, hingga subsidi untuk amortisasi yang dipercepat. "RUU ini menguntungkan pemodal," ujar Rimawan.

Rimawan mengakui kelapa sawit memiliki kontribusi tertinggi terhadap produk domestik bruto Indonesia saat ini. Komoditas ini juga penyumbang terbesar bagi devisa, pajak, dan penerimaan negara bukan pajak sektor perkebunan. Namun, menurut dia, sawit juga menghadapi banyak masalah yang terkait dengan alih lahan, kebakaran hutan, konflik pertanahan, dan tumpang-tindih lahan perkebunan dengan usaha lain.

Seorang petinggi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan lobi pengusaha sawit mendorong perubahan definisi hutan. Misalnya dengan memasukkan sawit sebagai komoditas kehutanan. Dengan begitu, isu deforestasi untuk perkebunan sawit otomatis hilang.

Firman membantah anggapan bahwa rancangan undang-undang yang tengah disusun parlemen menguntungkan pemodal. Menurut dia, draf itu sudah banyak berubah dari draf awal yang beredar di masyarakat. Ia menjamin RUU Perkelapasawitan berpihak pada petani. Sedangkan Ketua Gapki Joko Supriyono mengatakan ide tutupan sawit mesti didefinisikan sebagai tutupan hutan karena pohon sawit memiliki fungsi menyerap CO2 dan memproduksi O2. "Hanya angkanya lebih rendah," ujarnya.

Ditemui Tempo pada Rabu sore pekan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengaku mendengar para pengusaha aktif melobi parlemen. "Mungkin industri sawit sudah terlalu besar dan butuh jaminan agar bisnisnya tidak terganggu," katanya. Menurut Teten, pemerintah berharap industri sawit bisa lebih kompetitif dengan mengembangkan aneka rupa produk hilirnya. Apalagi, hingga beberapa tahun ke depan, industri sawit masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Hal itu pula yang disampaikan Teten saat menerima Ketua Gapki Joko Supriyono pada Rabu pagi pekan lalu. Menurut Teten, industri sawit harus tumbuh tanpa memperluas kebun. Draf instruksi presiden soal moratorium sawit, menurut dia, sudah difinalisasi Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Menteri Siti Nurbaya bahkan sudah melaksanakan moratorium tersebut. Ia menahan izin baru sejak April 2016.

Teten mengatakan pemerintah tak mau terburu-buru merespons RUU Perkelapasawitan yang diusung DPR. Inisiatif itu, kata dia, tidak akan jalan kalau Presiden tidak menyetujuinya. "Meski masih mencoba melobi dengan mempertahankan pola bisnis lama, kalau pemerintah tegas, pengusaha akan ikut," ujarnya.

Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi


Tumpang-tindih Aturan Sawit

DARI semua komoditas, kelapa sawit menjadi salah satu andalan menggenjot pertumbuhan. Dengan hamparan kebun seluas hampir 11 juta hektare, sebanyak 30,9 juta ton minyak sawit diproduksi setiap tahun--sekitar 28 juta ton minyak sawit diekspor dan sisanya dikonsumsi di dalam negeri. Tak mengherankan bila Indonesia menjadi produsen, eksportir, sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Atas inisiatif parlemen, komoditas ini akan diatur dalam sebuah undang-undang. Urgensi pembuatan aturan ini menjadi pertanyaan banyak kalangan. Apalagi undang-undang baru ini tidak lebih baik daripada Undang-Undang Perkebunan.

Pasal Bermasalah

Pasal 18: Insentif
(1)Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan fasilitas/insentif kepada penanam modal yang melakukan usaha perkelapasawitan

(2)Pemberian fasilitas/insentif diberikan kepada penanam modal yang melakukan:
a.Pengembangan usaha budi daya kelapa sawit
b.Usaha pengolahan hasil kelapa sawit
c.Penanaman modal baru di bidang perkelapasawitan

(3)Fasilitas/insentif yang diberikan kepada penanam modal berupa:
a.Pengurangan pajak penghasilan badan melalui pengurangan penghasilan bersih sampai jumlah tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu
b.Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri
c.Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu
d.Pembebasan dan penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang moda atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu
e.Penyusutan atau amortisasi dipercepat
f.Keringanan pajak bumi dan bangunan, khususnya di wilayah atau daerah atau kawasan tertentu
g.Bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 47: Pengelolaan Gambut
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengelolaan gambut di perkebunan kelapa sawit

Sumbangan Industri Sawit 2016
Ekspor-devisa: US$ 19,6 miliar
Pajak dan PNBP: Rp 79,5 triliun
Lapangan kerja: 5,3 juta orang

Luas Lahan Kelapa Sawit Nasional (Juta ha)
Bumn - 0,812 (7%)
Petani rakyat - 4,75 (41%)
Perkebunan swasta - 6,03 (52%)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus