Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jangan Dijadikan Sapi Perah

Samudera Sukardi dan Hotasi Nababan diduga bakal menjadi Direktur Utama Garuda dan Merpati. Apa saja program mereka untuk menyehatkan dua maskapai penerbangan yang sakit itu?

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persaingan ketat mewarnai bisnis transportasi udara, sementarapersaingan yang tak kurang ketatnya juga terjadi pada personalia pucuk pimpinan dua maskapai penerbangan pemerintah, yakni Garuda dan Merpati. Persaingan itu akan mencapai klimaksnya Senin pekan ini, ketika Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengumumkan nama jajaran direksi yang baru di kedua BUMN itu. Spekulasi tentang calon-calon kuat Direktur Garuda telah merebak sejak Direktur Utama Garuda terdahulu, Abdul Gani, menyatakan pengunduran dirinya. Lalu beredarlah nama Samudera Sukardi, yang kini menjabat Direktur Abacus (anak perusahaan Garuda); Emirsyah Satar yang adalah Direktur Keuangan Garuda; Bachrul Hakim, Direktur Niaga Garuda; dan Indra Setiawan, penasihat Garuda. Belakangan ikut meramaikan bursa direksi Garuda itu, nama mantan kepala perwakilan Garuda di Eropa, Agus Asnadinata. Hal yang sama juga terjadi di Merpati. Kinerja kepemimpinan Wahyu Hidayat, yang dianggap gagal oleh pemerintah, memunculkan deretan nama yang lebih panjang dari daftar Garuda. Paling tidak ada sepuluh nama, sebelum kemudian nama Hotasi melejit meninggalkan semuanya. Dari dalam Merpati sendiri muncul Budiman Rafioedin, Nyoman Suwija, Hartland Siagian, Toto Nursatyo, Guntur Siregar, Edward Sirait, dan Hari Parjaman. Dari luar Merpati, selain Hotasi yang saat ini Presiden Direktur PT GE Lokomotif, juga muncul nama Tike Sukrani (Danareksa) dan Bernardus Rahardja dari Ernst & Young. Persamaan pada kedua maskapai milik negara itu tak terbatas hanya pada pergantian direksi, melainkan juga kondisi usahanya yang tergolong payah. Saat ini Garuda masih menanggung beban utang yang tidak sedikit. Garuda bahkan sempat mengalami modal negatif sebesar Rp 1,4 triliun, sebelum Abdul Gani melakukan berbagai langkah yang membuat maskapai ini terhindar dari kebangkrutan. Sebelum meninggalkan Garuda, Abdul Gani membayar utang pokok sebesar US$ 98,4 juta, serta merestrukturisasi utang BUMN ini pada pihak kreditor. Dan itu baru langkah awal, karena pada tahun-tahun mendatang Garuda masih harus melunasi sisa utangnya yang hampir semua dibuat dalam dolar AS. Rekor utang Merpati juga tak kurang fantastis, sekitar Rp 1,7 triliun. Asetnya sendiri hanya Rp 813 miliar. Dan karena tak mampu membayar biaya perawatan, akhir bulan lalu Merpati menyerahkan tiga pesawat CN 235 ke PT Dirgantara Indonesia. Namun, seburuk apa pun kondisi perusahaan, tentu harus ada yang maju untuk memperbaikinya. Maka mencuatlah dua nama: Samudera dan Hotasi. "Saya kenal, mereka berdua sangat mampu di bidangnya," komentar pengamat BUMN Umar Juoro tentang Samudera dan Hotasi. Menurut Umar, kemampuan Samudera dalam bisnis penerbangan jelas tidak diragukan, mengingat 27 tahun karirnya dihabiskan di Garuda. Demikian juga dengan Hotasi. "Bagaimanapun, ia sempat lama di Garuda, sebelum masuk ke General Electric," katanya. Umar tidak mempermasalahkan hubungan keluargaā€”antara Samudera Sukardi dan Menteri Laksamana Sukardiā€”sepanjang profesionalisme tetap terjaga. Memang ada sedikit kekhawatiran, terutama di Merpati, karena kemungkinan masuknya orang luar perusahaan. "Jangan membuat mereka yang berkarir di Merpati lalu cemburu," kata Akhmad Muqowam, anggota Komisi IV DPR. Bagaimanapun, baik Samudera maupun Hotasi tampaknya tidak akan kembali ke "rumah" mereka yang lama dengan tangan hampa. Restrukturisasi bisnis adalah kata kunci yang diandalkan Samudera. Baginya, banyak sekali anak perusahaan dan unit usaha Garuda yang bisa dijadikan unit bisnis strategis perusahaan ini. "Banyak bisnis pendukung Garuda yang saat ini tidak dikelola dengan baik," katanya. Sedangkan bagi Hotasi, kata kunci untuk memperbaiki Merpati adalah "make money". Ruang untuk itu, menurut dia, masih sangat terbuka, sekalipun saat ini performa Merpati begitu payah. "Kalau tak ada peluang, mana mungkin saya mau mengambil kesempatan ini," kata insinyur sipil ITB yang saat mahasiswa aktif di pergerakan ini. Sambil membentangkan sebuah cetak biru untuk perbaikan kinerja Merpati, Hotasi menyatakan bahwa waktu dua tahun cukup baginya untuk membuat babakan awal. Namun, "Dalam tiga bulan pertama, harus sudah ada perubahan di Merpati," katanya. Jalan ke perbaikan performa Merpati itu, menurut Hotasi, sederhana saja, yaitu semua bagian harus memusatkan perhatian kepada kepuasan konsumen. Apa pun resep yang dibawa, kunci dari perbaikan kinerja maskapai penerbangan negara ini agaknya terletak pada pemerintah, yang seharusnya tidak lagi menggunakan Garuda dan Merpati sebagai sapi perah mereka. Kalau kebiasaan "membobol" BUMN masih tetap diteruskan, perbaikan sebagus apa pun akan sia-sia saja. Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus