Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Proyek pengembangan tambang panas bumi atau geothermal di Gede Pangrango, Mandailing, hingga Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai energi terbarukan disebut Jaringan Advokasi Tambang telah merampas ruang hidup warga. Bahkan, menimbulkan kejadian tragis yang menewaskan anak-anak. Menurut keterangan dari pihak Jatam, setidaknya 7 anak telah menjadi korban jiwa hingga ratusan warga dilarikan ke rumah sakit akibat terpapar gas beracun H2S dari operasi PT SMGP, pihak pengembang tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sejak operasi geothermal yang ada disana itu paling sedikit 7 anak telah menjadi korban jiwa dan ratusan warga lainnya juga menjadi korban akibat gas beracun dan dilarikan ke rumah sakit.” Ujar Al farhat Kasman, Juru Bicara Jatam saat ditemui TEMPO pada aksi koalisi Nasional Tolak Geothermal di depan gedung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 17 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatam, menurut Al Farhat, juga mencatat korban lainnya yang ada di Dieng, Wonosobo. “Di Dieng, Wonosobo, operasi PT Geo Dipa telah menewaskan dua orang, dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang.” sambung farhat.
Namun menurut Al Farhat, kondisi warga dan ruang hidupnya yang terancam tambang panas bumi ini justru dihadapkan pada ancaman kriminalisasi. Lantaran adanya Pasal 46 dan 74 UU 21/2014. Pasal 46 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi yang telah memegang Izin Pemanfaatan Langsung atau Izin Panas Bumi, dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Sanksi atas pelanggaran pelarangan tersebut dikemukakan di Pasal 74. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung terhadap pemegang Izin panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). Dengan kondisi semacam itu, menurut Al Farhat menempatkan rakyat dan lingkungan memikul risiko sosial dan ekologis dari seluruh proses pengembangan panas bumi.