Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi mengubah ketentuan soal distribusi hingga harga jual eceran minyak tanah, solar dan premium. Ketentuan baru ini diteken Jokowi pada 3 Agustus 2021 dan diundangkan di hari yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Peraturan Presiden (Perpres) ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," demikian tertuang dalam beleid baru tersebut, yaitu Perpres 69 Tahun 2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Eceran BBM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini adalah perubahan kedua dari Perpres 191 Tahun 2014 yang diteken Jokowi pada 13 Desember 2014. Perubahan pertama dilakukan Jokowi pada 24 Mei 2018 lewat Perpres 43 Tahun 2018.
Lalu dalam Perpres 69 Tahun 2021 ini, ada beberapa pasal tambahan dan perubahan. Berikut beberapa perubahan utama yang terjadi:
1. Kepemilikan 50 Persen
Di aturan lama yaitu Pasal 8, penyediaan dan distribusi BBM Tertentu seperti minyak tanah (Kerosene) dan solar (Gas Oil), maupun BBM Khusus Penugasan (Premium) bisa dilakakukan badan usaha. Caranya bisa penunjukkan langsung atau seleksi.
Di aturan baru, beleid ini tidak berubah. Tapi ada tambahan lima ayat pada Pasal 8A, di mana penunjukan langsung bisa diberikan kepada anak usaha dari badan usaha tersebut. Syaratnya kepemilikan saham badan usaha induk lebih dari 50 persen dan punya Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi.
2. Wajib Punya Kilang Minyak
Di aturan lama yaitu Pasal 9, badan usaha yang dapat penugasan distribusi minyak tanah dan solar harus memiliki Izin Usaha Niaga Umum, fasilitas penyimpanan dan fasilitas distribusi.
Di aturan baru, Pasal 9 ini berubah menjadi 5 ayat. Salah satunya pasal ayat 1 yang memberi penegasan bahwa badan usaha yang dapat penugasan harus "memiliki dan/atau menguasai" fasilitas penyimpanan dan distribusi. Penguasaan ini bisa dilakukan langsung atau tidak langsung melalui anak perusahaan.
Lalu dalam ayat 4 disebutkan bahwa badan usaha wajib memiliki kilang minyak dan gas bumi dalam negeri, baik langsung atau tidak langsung melalui anak perusahaan.
3. Penetapan Harga
Di aturan lama yaitu Pasal 14, menteri menetapkan harga indeks pasar, harga dasar, dan harga jual minyak tanah, solar, dan premium. Komponen harga dasar yaitu biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin.
Lalu, harga jual eceran minyak tanah adalah nominal tetap yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, komponen harga jual solar harga dasar ditambah PPN dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), kurangi subsidi.
Lalu untuk premium, tidak ada ketentuan rinci soal formula harga jual. Beleid ini hanya menyebutkan penetapan harga jual eceran premium, termasuk juga minyak tanah dan solat, dilakukan dalam rapat koordinasi.
Di aturan baru, ketentuan ini tidak masih tetap berlaku. Tapi ada beberapa perubahan di Pasal 14, salah satunya harga premium yang kini mulai diatur. Komponen harga jual ecerannya yaitu harga dasar ditambah pendistribusian di wilayah penugasan, PPN, dan PBBKB. lalu, menteri menetapkan PBBKB dalam komponen harga jual solar dan premium ini.
Tapi, semua ini bisa berubah lewat rapat koordinasi menteri. Asalkan memperhitungkan tiga aspek yaitu keuangan negara, daya beli, dan ekonomi riil masyarakat.
4. Harga Pertalite hingga Pertamax
Awalnya di Perpres 2014, harga jual eceran Pertalite dan Pertamax sesuai dengan peraturan daerah provinsi setempat. Lalu di Perpres 2018, aturan ini dicabut dan tidak ada ketentuan soal harga jual eceran Pertalite hingga Pertamax.
Lalu di aturan baru pada Perpres 2021 ini, diatur ketentuan tambahan yaitu Pasal 14A. Pasal tersebut menyebutkan harga jual eceran Pertalite hingga Premium ditetapkan berdasarkan harga dasar, ditambah PPN dan PBBKB.
5. Ketentuan Subsidi
Di aturan lama yaitu Pasal 16, subsidi minyak tanah dihitung dari selisih harga jual setelah dikurangi pajak-pahak dan harga dasar. Di aturan baru, subsidi minyak tanah dihitung dari harga jual tanpa PPN, dikurangi harga dasar.
Di aturan laman, subsidi solar merupakan subsidi tetap yang dihitung dari dihitung dari selisih kurang harga dasar setelah ditambah pajak-pajak. Di aturan baru, subsidi solar masih merupakan subsidi tetap, tapi disebutkan mengacu pada besaran yang ditetapkan dalam APBN.
6. Pemeriksaan oleh Auditor
Setelah mengatur soal subsidi, Perpres 2021 ini juga menyelipkan ketentuan baru soal pemeriksaan oleh auditor. Pemeriksaan ini menyangkut kelebihan dan kekurangan penerimaan oleh badan usaha akibat perubahan harga minyak tanah, solar, dan premium di rapat koordinasi menteri.
Jika hal tersebut terjadi, maka Menteri Keuangan harus menetapkan kebijakan baru untuk mengatur kelebihan atau kekurangan penerimaan tersebut. Kebijakan diatur lewat berkoordinasi dengan Menteri ESDM dan Menteri BUMN.
7. Penugasan lama masih berlaku.
Lalu, ada lagi ketentuan tambahan yaitu Pasal 21A. Pasal ini menyebutkan bahwa pada saat Perpres 2021 ini berlaku, penugasan penyediaan dan distribusi minyak tanah, solar, dan premium yang diberikan sebelum Perpres (3 Agustus 2021) masih akan tetap berlaku.