Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jualan Aset sampai Manado

KPK mengendus kecurangan penjualan aset kredit BPPN di Sulawesi Utara. Transaksi yang sama sedang diperiksa kejaksaan.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK lain penampilan Syafruddin Arsyad Temenggung, Kamis dua pekan lalu. Langkahnya lebih cepat dari biasanya. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, seperti ketika menjabat bos Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), juga tak tampak. Maklumlah, ketika dipergoki siang itu, Syafruddin baru saja memenuhi undangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lho, diperiksa? "Tidak ada pemeriksaan apa-apa," katanya singkat, kepada Angelus Tito dari Tempo News Room. Yang jelas, tak kurang dari sembilan jam Syafruddin "bersilaturahmi" dengan para pemeriksa KPK di lantai tiga gedung yang terletak di Jalan Veteran, Jakarta Pusat itu. Lembaga yang berwenang menyidik dan menuntut kasus korupsi itu tengah mengendus kemungkinan kongkalikong dalam satu transaksi penjualan aset kredit yang dilakukan BPPN.

Transaksi yang sedang disimak adalah penjualan hak tagih PT Pengembangan Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara. Aset itu terjual dalam Program Penjualan Aset Kredit (PPAK) III pada April tahun silam. Seperti aset hak tagih lainnya yang terjual, harga Pengembangan Pariwisata juga terdiskon besar-besaran. Dengan nilai buku Rp 108 miliar, hanya terjual Rp 6,7 miliar.

Utang itu awalnya merupakan pinjaman dari PT Bank Exim yang dikucurkan 13 tahun lalu. Pinjaman Rp 48 miliar itu digunakan untuk membangun Manado Beach Hotel. Karena tak pernah mencicil, utang pun membengkak nyaris tiga kali lipat. Utang macet itu pun beralih ke BPPN, ketika Bank Exim dilebur menjadi PT Bank Mandiri pada 2000.

KPK tak mempersoalkan harga superbanting itu. Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, menyatakan lembaganya sedang mengusut kemungkinan oknum BPPN yang mengetahui bahwa aset itu dibeli kembali oleh pemilik lama. Untuk membuktikan kecurigaan itu, KPK memanggil Syafruddin dan beberapa mantan pejabat BPPN, termasuk M. Syahrial, Deputi Ketua BPPN Bidang Asset Management Credit, yang membawahkan langsung penjualan aset kredit.

Sejauh ini KPK baru sampai pada tahap mengumpulkan bukti, dan belum menyebut mantan pejabat BPPN yang dibidik sebagai tersangka. Tapi Erry yakin, ada yang main mata dalam penjualan hak tagih Pengembangan Pariwisata. Bagaimana membuktikannya? Selama ini, membuktikan pemilik lama membeli kembali asetnya dari BPPN merupakan hal muskil, bahkan boleh dikatakan belum pernah terjadi.

Kesulitan pertama adalah mencari hubungan antara perusahaan pembeli dan debitor. Sekat ini pun ada dalam penjualan aset kredit Pengembangan Pariwisata. Itu sebabnya Syahrial bersikukuh, penjualan hak tagih Pengembangan Pariwisata tak beda dengan transaksi aset kredit lain. "Saya tidak tahu bahwa ada indikasi korupsi," kata Syahrial melalui telepon seluler.

Tudingan bahwa ada oknum BPPN yang mengetahui buyback utang oleh pemilik lama ditampik Syahrial. "Secara transaksi, kami menjual ke PT BNI Securities," katanya. Toh, beberapa pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara justru membenarkan bahwa Pengembangan Pariwisata?yang 80 persen sahamnya milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara?telah melakukan buyback. "Kami memiliki komitmen untuk menyelamatkan properti itu," ujar Abdi Widjaya Buchori, Kepala Biro Perekonomian Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.

Soalnya, prospek bisnis Manado Beach Hotel masih cerah. Dengan alasan itu, pemerintah provinsi turut cawe-cawe dalam urusan restrukturisasi utang. Campur tangan ini akhirnya membuahkan hasil. Setelah tawar-menawar yang ketat, Komisi Kebijakan Sektor Keuangan menyetujui pemangkasan bunga dan denda (haircut) utang Pengembangan Pariwisata pada kuartal pertama 2001. Utang yang harus dibayar pun turun drastis menjadi Rp 30 miliar. Jumlah itu kemudian ditawar lagi hingga Rp 25 miliar. Pemberian haircut itu disertai syarat: harus lunas sebelum awal 2003.

Jack Parera, Direktur Utama Pengembangan Pariwisata periode 1999-2001, menilai pemangkasan utang itu layak dilakukan. "Hotel ini dibangun atas instruksi pemerintah pusat dan tidak disertai studi kelayakan bisnis yang pantas," kata Jack blakblakan. Melihat lokasinya saja di Pantai Tasik Ria, Desa Mokupa, Minahasa, yang miskin fasilitas pendukung, masa depan hotel sebenarnya sudah terbaca. Saat didirikan dulu, jangankan jalan akses nan mulus, lampu penerangan jalan pun tiada. "Sampai-sampai taksi tak mau mangkal di situ," kata Jack.

Dengan lokasi serba minus dan terpencil, hunian hotel tak pernah mencapai tingkat menguntungkan. "Selama berdiri tak pernah lebih dari 30 persen," ucap Jack. Akibatnya, hotel itu tak pernah mengantongi laba sepicis pun. Kesulitan tak berakhir dengan pemberian haircut besar-besaran. Kinerjanya malah menggelincir seperti bola salju. Memasuki penghujung 2001, listrik dan gaji pegawai, dari komisaris hingga bellboy, mulai tertunggak.

Untuk menyelamatkan hotel yang nyaris tenggelam pailit, pemerintah provinsi menyuntikkan dana segar pada pertengahan 2002. Duitnya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. "Dana yang disisihkan Rp 25 miliar untuk pelunasan utang ke BPPN, dan Rp 5 miliar untuk perbaikan infrastruktur," kata Abdi. Namun pelunasan utang gagal karena delegasi manajemen Pengembangan Pariwisata datang terlambat.

Rombongan yang dipimpin Jopie J. Saruan, mantan Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, baru tiba di Jakarta pada 17 Maret 2003, melewati tenggat. BPPN pun telanjur memasukkan hak tagih Pengembangan Pariwisata ke dalam daftar aset kredit yang akan dilelang. Pulanglah rombongan itu ke Manado dengan tangan hampa.

Mestinya, peluang melunasi utang dengan harga murah telah pupus. Kenyataannya tidak demikian. Abdi menuturkan, pemerintah provinsi belakangan menjalin kerja sama dengan Tribrata Mitra, sebuah perusahaan beralamat di Jakarta, untuk mempertahankan asetnya. Harga yang ditawarkan Tribrata juga hebat, jauh lebih rendah dari harga pelunasan utang yang diputus oleh KKSK?yakni hanya Rp 18 miliar.

Singkat cerita, diikatlah perjanjian antara Tribrata dan pemerintah provinsi. Jopie, sebagai pejabat yang membawahkan urusan ekonomi, ditunjuk sebagai orang yang mencairkan uang ke Tribrata. Ternyata Tribrata tak maju sendiri mengikuti lelang. Ia meminta jasa BNI Securities untuk mengajukan penawaran ke BPPN.

"Kami berperan sebagai fronting agent atas permintaan Tribrata," ujar seorang wakil dari Divisi Hukum BNI Securities yang menolak namanya dikutip. Mengenai siapa di balikTribrata, sumber ini mengaku perusahaannya tak tahu-menahu. "Urusan kami sebatas dengan Tribrata," katanya.

Sampai di sini, kecurigaan bahwa Pengembangan Pariwisata membeli kembali utang mereka terbukti sudah. Syahrial menyebut setiap peserta lelang terikat pada persyaratan bahwa mereka tak terkait dengan debitor. "Kalau terbukti si pemilik lama yang membeli utangnya, pemerintah berhak menagih selisih utang yang belum terbayar," tutur Syahrial.

Pengembangan Pariwisata atau pemerintah provinsi bisa jadi tak menyadari adanya peraturan itu. Atau, mungkin mereka terpaksa mengakui pembelian itu karena tengah menghadapi "masalah" yang jauh lebih besar. Tapi kejaksaan tinggi keburu mengendus kecurangan dalam pelaksanaan pembelian utang tersebut.

Pasalnya, dalam PPAK III, aset kredit Pengembangan Pariwisata terjual dengan harga Rp 6,75 miliar, lebih kecil Rp 11,75 miliar dibandingkan dengan uang yang disetor oleh pemerintah provinsi ke Tribrata. Sejauh ini baru Jopie yang dikenai status tersangka. Pria yang telah pensiun pertengahan tahun lalu itu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tuminting, Manado, pada 15 Mei lalu.

Setelah 24 hari mendekam, penahanannya ditangguhkan. Jopie sendiri mengaku tak menikmati selisih uang itu. "Urusan saya hanya sampai menyetor uang ke Tribrata," katanya. Untuk tugas itu pun, ia dibekali surat kuasa dari Gubernur Sulawesi Utara.

Sosok Tribrata sendiri hingga kini masih misterius. Meski sempat memeriksa seorang wakil dari Tribrata, Robert Ilat, jaksa yang menyidik kasus ini, mengaku tak tahu pasti di mana kantor perusahaan makelar itu. Yang ia tahu, Tribrata terakhir berkantor di Gedung Nugra Santana, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Ketika TEMPO mendatangi alamat itu, "Tribrata sudah lama pindah," kata seorang resepsionis perusahaan lain.

Thomas Hadiwinata, Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus