Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bermula dari Kata

Buku yang membahas manajemen komunikasi lima Presiden RI. Sejak awal reformasi, hal itu menjadi masalah besar.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Centang-perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megawati
Pengarang: Rendro Dhani
Pengantar: Dedy N. Hidayat
Penerbit: Pustaka LP3ES, 2004
Tebal: xxviii + 255 halaman

"Kata-kata saya sudah dipelintir media massa," kata Abdurrahman Wahid.

"Mudahnya media menghujat," ujar Megawati.

Dua petinggi negara (presiden) itu frustrasi dan merasa dirugikan oleh ulah pemberitaan media massa tentang diri mereka. Arus reformasi sejak turunnya Presiden Soeharto ditandai—salah satunya—dengan kebebasan pers yang dinilainya sudah kebablasan. Akibatnya, setiap kalimat, tingkah laku, dan kebijakan politik yang dikeluarkan figur publik, apalagi pejabat publik, akan menjadi sasaran kritis media. Kalau sudah begini, manajemen komunikasi—meliputi press briefing, pidato, atau sambutan, konferensi pers, informasi yang dikeluarkan bawahan presiden, serta segala macam perilaku dan bahasa tubuh seorang presiden saat menanggapi masalah tertentu—menjadi layak dibahas.

Sebagaimana di negara maju seperti Amerika Serikat, media massa telah menjadi lembaga yang bisa mengangkat seseorang menjadi presiden, juga menjatuhkannya. Ini gambaran yang rasanya tidak terjadi pada era Orde Lama di bawah Sukarno dan era Orde Baru di bawah Soeharto karena watak "otoriter" cenderung mendorong media massa agar berpihak sepenuhnya kepada penguasa. Manajemen komunikasi kepresidenan saat itu, melalui Sekretariat Negara dan Kementerian Penerangan, lebih "ringan" kerjanya karena "hanya" sebagai corong pemerintah dengan sifatnya yang monolog dengan masyarakat, termasuk media massa—sesuatu yang tidak berlaku lagi pada era reformasi.

Buku Centang-perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megawati adalah pengembangan sebuah tesis S-2 komunikasi Universitas Indonesia. Dari buku yang membahas perjalanan dan dinamika manajemen komunikasi kepresidenan dari Sukarno hingga Megawati itu, kita mendapat pelbagai gambaran—antara lain—tentang komunikasi ini.

Sukarno dan Soeharto, meskipun memiliki gaya dan kemampuan berkomunikasi yang berbeda, dalam mengelola negara memiliki watak otoriter yang relatif sama, khususnya dalam sistem manajemen media. Awalnya demokratis, tapi selanjutnya menjadi sangat otoriter terhadap lawan politiknya, termasuk media massa. Manajemen komunikasi mereka juga sama: lebih bersifat monolog dalam memberikan informasi dan penjelasan dan sangat birokratis.

B.J. Habibie, seorang teknolog, memperkenalkan untuk pertama kalinya sistem informasi canggih dalam manajemen komunikasi dan informasi secara online. Ia pun tidak membatasi website, Internet, sarana komunikasi dan informasi secara online. Ia rajin melakukan wawancara eksklusif serta konferensi pers, mengundang banyak tokoh untuk berdiskusi, dan yang paling radikal adalah manajemen informasinya: memberikan ruang sebesar-besarnya kepada media massa. Tapi itu menjadi bumerang: ia pun "jatuh", sebagian besar karena peran media massa di dalamnya.

Lalu dua presiden produk badan legislatif kita dengan manajemen komunikasi yang sangat kontras: Abdurrahman Wahid dan Megawati. Gus Dur talkative, informal, dan kadang nyeleneh—ini juga menjadi "bumerang" kemudian. Baginya, persoalan informasi dan komunikasi lebih merupakan persoalan publik dan, karena itu, negara tidak perlu turut campur terlalu jauh di dalamnya. Ia membubarkan Departemen Penerangan serta rajin melakukan talk show, diskusi masjid, dan pertemuan informal. Sayang, gaya komunikasi yang menjangkau masyarakat luas beratmosfer demokratis ini dikelola tanpa manajemen yang memadai. Kesimpangsiuran kerap terjadi.

Sebaliknya, Megawati hemat bicara. Dihapuskannya juru bicara presiden dan tidak maksimalnya peran para menteri koordinator sebagai komunikator presiden membuat semuanya tidak pasti. Apalagi first gentleman Taufiq Kiemas dalam banyak hal sering tampil ke muka sebagai juru bicara presiden.

Kelihatannya masalah manajemen komunikasi kepresidenan ini menjadi masalah besar bagi presiden yang ada, khususnya sejak awal reformasi, dan ini akan menjadi pekerjaan rumah atau tugas berat buat presiden yang baru. Yang jelas, penting artinya jika lembaga yang satu ini ditangani orang-orang yang kompeten atau profesional: proaktif, tidak reaksioner, solid, dan all-out. Mereka menjadi telinga, mata, dan mulut presiden di garis depan.

Buku ini sangat layak dibaca akademisi, praktisi, khususnya tim sukses calon presiden dan wakil presiden, serta aparat pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang komunikasi dan informasi. Buku ini makin lengkap karena Dedy N. Hidayat, pakar komunikasi Universitas Indonesia, memberikan kata pengantar yang sangat baik. Kalau memang ada kekurangannya, itulah soal begitu luasnya hal yang akan dibahas (lima presiden) hanya dalam 255 halaman.

Nur Iman Subono
pengajar FISIP UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus