Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu malam, demokrasi datang ke lapangan badminton itu.
Waktu: hari Ahad malam, 27 Juni 2004.
Tempat: sebuah lapangan bulu tangkis di Kampung Tanggulsari, Desa Kadipiro, Surakarta.
Perlengkapan: Lampu. Meja. Kursi. Kertas. Sejumlah drum oli yang ditegakkan.
Ratusan warga hadir. Sebuah acara yang mungkin belum ada duanya dalam sejarah Indonesia dibuka: "Warga RT Mencari Presiden. Uji Layak Capres."
Tentu, Megawati tak muncul di sana. Juga para calon presiden yang lain. Acara itu dimulai sonder instruksi. Sebagaimana dilaporkan Koran Tempo, penggagasnya penduduk Tanggulsari sendiri. Mungkin demokrasi memang sudah menjalar ke sana. Tapi mungkin juga sebaliknya: demokrasi 2004 justru datang dari kerinduan orang di kampung untuk boleh bersuara, boleh menentukan, boleh mencobadan boleh asyik.
Di lapangan badminton itu seorang "calon presiden" langsung di-"uji layak"sepasang kata yang lebih gamblang ketimbang fit & proper test. Bentuknya: sebuah perdebatan terbuka. Yang bertanding adalah "tim sukses Wiranto", "tim sukses Yudhoyono", dan "tim sukses Amien Rais. Adapun "tim sukses Megawati" dan "Hamzah Haz" dikabarkan tak hadir. Mereka tak datang dari jauh. Semuanya para tetangga.
Tiap "tim sukses" muncul dalam sosok seseorang yang berdiri di podium darurat yang dibuat dari drum oli itu. Dua orang pria (masing-masing "mewakili" Wiranto dan Yudhoyono) dan seorang perempuan ("mewakili" Amien Rais) menguraikan program calon presiden mereka. Masing-masing bicara 10 menit. Kemudian, mengikuti model yang mereka lihat di televisi, para pembicara harus menjawab pertanyaan tiga anggota panel: seorang ibu rumah tangga, seorang pegawai negeri sipil, dan seorang buruh pabrik.
Yang hadir juga diberi kesempatan bertanya. Orang pun berebut mengacungkan jari untuk mengemukakan persoalan mereka sehari-hari. Lebih dari acara di TV, debat di Tanggulsari itu berlangsung hampir empat jam, tanpa iklan.
Setelah uji-coba usai, sebuah pemungutan suara menyusul. Panitia membagi kertas pemilih yang harus dicoblos hadirin. Hasilnya dihitung. Siti Nur Zulaikhah, "mewakili" pasangan Amien-Siswono, dapat 34 suara dan dinyatakan menang.
Tapi baginya tak ada kembang yang harum dan piala yang mengkilap. Siti Nur Zulaikhah harus duduk di kursi yang disediakansebuah kursi rusak. Kata Haristanto, yang ikut menyiapkan acara ini: itulah sebuah pesan bahwa "jabatan presiden bukan kursi empuk". Dan wartawan Koran Tempo pun menutup laporannya dengan satu catatan: "Mereka yang kalah tidak protes. Mereka yang menang harus duduk di kursi rusak."
Saya tersenyum, saya kagum, dan saya bertanya dalam hati: apa gerangan yang akan dikatakan para pendukung "demokrasi terpimpin" tentang acara di lapangan bulu tangkis kampung itu? "Demokrasi terpimpin" dilaksanakan Bung Karno di antara 1958 dan 1965. Idenya kurang-lebih meneruskan teori Ki Hajar Dewantara, seorang aristokrat dari Yogya yang akhirnya jadi pemikir pendidikan. Ki Hajar menganggap "rakyat" ibarat anak-anak yang perlu diajari dan dipimpinentah sampai kapan.
Apa pula yang akan dikatakan pendekar "Orde Baru", yang menganggap "politik" harus disetop di desa-desa? Mereka ini berangkat dari asumsi bahwa di dusun, "rakyat" hidup rukun dan selaras, tanpa keteganganmengikuti mitos para pelukis "Hindia Molek" di zaman kolonial, bahwa "Hindia Belanda" adalah sederet gunung biru, sebentang sawah kuning, seutas jalanan teduh, sebuah tanah jajahan yang anteng.
Atau hidup masyarakat yang "asli" dibayangkan laksana seregu pemain gamelansebuah alegori yang dipakai oleh Dr. Sutomo, pemikir politik yang konservatif di tahun 1930-an, untuk menunjukkan bahwa di "masyarakat Indonesia", orang bisa punya peran yang berbeda, tapi tak ada konflik. Jika dengan setia mereka menyuarakan "bunyi" masing-masing, sesuatu yang laras, lancer, dan merdu pun pasti akan jadi. Bersaing itu berbahaya, bersaing itu asing.
Dengan argumen macam itulah "Orde Baru" ingin "melindungi" pedesaan Indonesia dari "bahaya" yang ditebarkan dari "luar". Paternalisme pun bersenyawa dengan paranoia. Partai politik dicurigai sebagai pembawa sengketa ke kancah "rakyat". Maka, dipraktekkanlah gagasan "massa mengambang" atau (sering disebut dengan bahasa Inggris) floating mass. Dalam konsep ini, "rakyat" tak diperkenankan terpaut tetap pada satu partai. Sementara itu, dengan tipu muslihat, alasan sok-ilmiah, dan teror, Golkar dimaklumkan bukan sebagai partai politik, meskipun siap menang pemilu. Dalam sistem "Orde Baru", Golkar adalah sejenis makhluk siluman.
Sejak 1999 orang Indonesia sadar bahwa semua itu kelirubaik Ki Hajar maupun Golkar. Perbedaan partai, perbedaan pilihan pemimpin, bisa berlangsung tak berbahaya jika proses itu bebas, adil, terbuka. Di lapangan badminton Tanggulsari, sesuatu yang universaltak hanya "Barat"berlaku.
Tapi, pada saat yang sama, satu hal lain bisa disimpulkan: kini tak seorang pun dapat berkata, "Pada hakikatnya, rakyat adalah ." "Rakyat" bukanlah makhluk mitologis. Tak ada satu "hakikat" yang pas untuk kapan saja dan di mana saja. "Rakyat adalah kita ," tulis penyair Hartoyo Andangjaya. "Kita" bukanlah "aku". Perbedaan adalah niscaya.
Oleh sang penyair, "kita" juga ditampilkan dalam "kerja". Artinya dalam proses, dalam sejarah, dengan perubahan yang tak terlarai. "Rakyat" selalu luput dari teori yang terakhir.
Mungkin itu sebabnya demokrasi perlu: tak ada teori terakhir tentang "rakyat" dan manusia. Maka kita harus mampu mengakui kesalahan konsep dan penilaian sendirijuga ketika kita jadi "rakyat" yang memilih, juga ketika kita jadi "pemimpin" yang dipilih.
Dengan kata lain, demokrasi berangkat dari alegori Tanggulsari: siapa pun duduk di kursi rusak, siapa pun tak sempurna, siapa pun mesti sementara, seperti sebuah pementasan yang siap ditertawakanjuga oleh diri sendiri.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo