Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jurnalisme Indonesia di Tepi Jurang

Penelitian mendapati permasalahan jurnalisme Indonesia: beban kerja tinggi, kesejahteraan rendah, dan ketidakberlanjutan karier.

30 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah wartawan meliput kasus korupsi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penelitian mahasiswa doktoral University of Sheffield mendapati permasalahan terbesar jurnalisme di Indonesia.

  • Bukan ancaman kebebasan pers dan sebagainya, tapi soal kesejahteraan jurnalis yang rendah di tengah beban kerja yang tinggi.

  • Pemerintah perlu ikut mencari jalan keluar dari problem struktural ini, mengingat peran pers sebagai satu pilar demokrasi.

Jurnalis adalah salah satu profesi yang berperan signifikan dalam suatu negara. Hal itu karena lembaga pers merupakan institusi sosial yang berfungsi sebagai lembaga kontrol. Namun profesi jurnalis kini menghadapi banyak tantangan dan risiko, termasuk kerentanan dalam hal stabilitas finansial serta keberlangsungan karier.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang 2020-2022, saya mewawancarai 50 jurnalis dari beragam latar belakang. Dari yang baru masuk industri media sampai yang sudah belasan tahun berprofesi sebagai jurnalis. Salah satu kesimpulan yang saya dapat: profesi jurnalisme menjadi semakin rentan secara finansial dan jurnalis semakin terindividualisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Individualisasi berarti bahwa corak kerja yang ada semakin mengisolasi jurnalis untuk berfokus pada diri sendiri, misalnya harus menguasai berbagai keterampilan sekaligus tanpa sempat untuk memupuk solidaritas kolektif dalam serikat pekerja. Konsekuensinya, problem yang muncul hanya dianggap sebagai problem individu, alih-alih problem struktural yang membutuhkan jawaban struktural.

Tak mengherankan, kini profesi jurnalis hanya menjadi batu loncatan bagi para kaum muda sebelum berpindah ke industri lain yang lebih menjanjikan stabilitas finansial. Dampaknya, industri media pelan-pelan kehilangan generasi jurnalis berkualitas dan terbaiknya.

Wartawan melakukan aksi atas kekerasan rekan seprofesinya di Jakarta. TEMPO/ Tony Hartawan

Dilema Jurnalis

Studi terbaru tentang kondisi kerja dan kerentanan jurnalis di era digital di Indonesia menemukan bahwa perkembangan era teknologi digital, terlepas dari banyak dampak positifnya, telah membentuk pengalaman jurnalis muda sekaligus membuat kondisi kerja para jurnalis menjadi semakin rentan. Berdasarkan temuan wawancara yang saya lakukan dengan meminjam kerangka dari studi tersebut, saat ini ada tiga dilema yang dihadapi para jurnalis.

Pertama, dilema terkait dengan status dan hubungan kerja. Jurnalis yang merupakan pekerja tetap menyampaikan bahwa kondisi kesejahteraan mereka masih terbatas. Keterbatasan ini, di antaranya, meliputi minimnya perhatian perusahaan media terhadap kesehatan mental, bahkan tidak didaftarkan pada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Sementara itu, bagi jurnalis yang bekerja lepas (freelance), sebagaimana karakter pekerja prekariat, fleksibilitas dalam mengatur jam kerja memang menawarkan kebebasan. Tapi pandemi membuat ruang gerak mereka terbatas.

Biasanya, jurnalis freelance yang bisa bertahan adalah mereka yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun dan sudah memiliki jejaring yang relatif luas. Ini menjadi semacam privilese yang jarang sekali didapat oleh jurnalis-jurnalis muda yang sejak awal memutuskan untuk menjadi freelance.

Berdasarkan temuan wawancara yang saya lakukan, status pekerja tetap dan pekerja lepas sama-sama memiliki karakter kerentanan yang berimplikasi pada kekhawatiran akan jaminan sosial dan jenjang karier di masa depan.

Wartawan menulis di ruang media center di Palembang, Sumatera Selatan. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah

Kedua, dilema terhadap kondisi dan beban kerja. Beberapa jurnalis menyebutkan bahwa beban kerja mereka sebagian besar dibagi menjadi dua: beban kerja dengan target kuantitas, misalnya harian atau mingguan, serta beban kerja yang berbasis pada isu.

Hanya media-media tertentu yang memiliki kemewahan membuat jurnalisnya bekerja berdasarkan isu tanpa mempertimbangkan kuantitas. Sebagian besar media digital masih menggunakan ukuran jumlah berita yang diproduksi harian. Kondisi ini dalam beberapa kasus dapat berujung pada bentuk eksploitasi jurnalis, meski tidak dilakukan dengan sengaja.

Di Yogyakarta, misalnya, 12 mantan jurnalis media daring Akurat.co menggugat media tersebut. Penyebabnya, manajemen memecat mereka setelah para jurnalis tersebut mencoba bernegosiasi perihal target produksi 200 berita/artikel per hari. Sedangkan jumlah penulisnya terbatas.

Mirisnya lagi, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi tersebut, baik terkait dengan status maupun beban kerja, kerap “ditutup” dengan refleksi diri “daripada tidak ada pekerjaan sama sekali, kondisi ini mesti disyukuri”. Pada akhirnya semua itu mereka anggap sebagai risiko menjadi jurnalis.

Yang mengejutkan, dilema semacam ini telah dinormalisasi sejak di dunia kampus. Dalam survei yang saya lakukan bersama Remotivi (2021), saya menemukan bahwa kondisi kerentanan ini sudah dipahami oleh mahasiswa studi jurnalisme dan komunikasi. Mereka menyampaikan bahwa pekerjaan di industri media bukanlah pekerjaan yang bisa mendatangkan kesejahteraan finansial. Dan karena itu, sebagian besar responden sulit membayangkan akan memiliki karier sebagai jurnalis sampai usia pensiun.

Ketiga, kesulitan-kesulitan yang dihadapi tersebut kemudian menjadikan jurnalisme sebagai profesi sementara. Profesi sebagai jurnalis menawarkan kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dan berjejaring, yang kemudian digunakan sebagai ruang untuk membuka pintu pekerjaan yang baru. Kondisi ini sangat bisa dipahami. Tapi, dalam jangka panjang, ini bisa menjadi ancaman bagi eksistensi jurnalisme di Indonesia.

Sejumlah wartawan meliput di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Problem Struktural

Ketidakpastian dan kerentanan akan kesejahteraan dalam profesi jurnalis bukan proses yang terjadi di ruang vakum. Pilihan yang diambil seorang jurnalis ketika memutuskan meninggalkan industri media tidak serta-merta hanya persoalan pilihan individual. Ini secara tidak langsung menunjukkan adanya problem struktural dalam ekosistem media di Indonesia. Karena itu, penting untuk mulai mendiskusikan upaya stuktural untuk problem yang dihadapi.

Diskusi bisa dimulai dengan memetakan kondisi yang terjadi saat ini. Upaya semacam ini sebenarnya sudah sering dilakukan, salah satunya oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang sering melakukan survei upah layak.

Dari sana kita bisa melihat betapa timpangnya kondisi kesejahteraan profesi jurnalis dengan sebagian besar profesi lainnya. Namun kita juga butuh gambaran yang lebih luas dalam skala nasional karena setiap daerah memiliki tantangan dan kondisi yang berbeda.

Regulator media dan pemerintah harus segera mendorong munculnya jalan keluar yang membuat kesejahteraan jurnalis bisa terjamin dan berkelanjutan. Upaya yang mesti terus dilakukan jika tidak ingin kondisi jurnalisme semakin memburuk dan terus-menerus dalam bayang-bayang krisis.

---

Artikel ini ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo, mahasiswa doktoral Ilmu Jurnalistik, Media, dan Komunikasi di University of Sheffield, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus