Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau Tak Ada Perbaikan Produksi...

Negara-negara pemberi pinjaman luar negeri IGGI, bersama Bank Dunia & ADB mengkhawatirkan bantuan bagi Indonesia dipergunakan untuk mengimpor beras. Indonesia terus berusaha meningkatkan produksi pangan. (eb)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALIPUN dalam sidangnya di Amsterdam, IGGI bersama Bank Dunia dan ADB berjanji menyediakan US$2,5 milyar, kecemasan timbul bahwa sebagian bantuan untuk Indonesia itu akan terpaksa digunakan untuk mengimpor beras. Wakil dari Bank Dunia dan IMF dalam sidang tersebut (22-23 Mei) memperingatkan, jika nanti tidak ada perbaikan dalam produksi pangan, dalam tahun 1980-an Indonesia akan dipaksa menggunakan sebagian sumbernya untuk membayar impor beras. Para peserta sidang IGGI punya alasan kuat untuk khawatir panen beras Indonesia tahun lalu gagal karena hama dan musim kemarau yang panjang. IX lain pihak, sumber yang berasal dari minyak akan berkurang, sementara pertambahan konsumsi minyak dalam negeri tumbuh lebih cepat ketimbang produksinya. Dalam sidang tersebut Menko Ekuin Widjojo Nitisastro berjanji bahwa Indonesia akan memusatkan usahanya meningkatkan produksi pangan. Itu antara lain akan dimulai pada tahun pertama Repelita III, dengan extensifikasi di luar Jawa sebanyak 160.000 ha. Juga ditemukannya varietas bibit padi baru VUTW yang lebih tahan wereng, sudah akan dibagikan pada para petani dalam musim tanam '78/'79. Bahwa produksi Indonesia ternyata masih belum bisa diandalkan, dapat dilihat pada impor beras yang dalam tahun anggaran '77-'78 mencapai 2,6 juta ton. Untung harga beras dunia saat itu berada pada tingkat yang normal, yaitu sekitar US$250 per ton, karena ternyata negara produsen beras lainnya cukup punya persediaan. Namun demikian Indonesia harus membayar dengan cukup mahal juga: sejumlah US$682 juta devisa tersedot keluar untuk impor beras, menurut laporan IMF. Dengan jumlah sebesar 2,6 juta ton tersebut yang diimpor dari sekitar 11 negara, Indonesia merupakan pembeli beras terbesar di dunia. Jumlah yang dibeli mewakili seperempat dari jumlah yang tersedia di pasaran dunia. Bagi Indonesia, sebesar 2,6 juta ton tersebut merupakan jumlah pembelian yang dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Untunglah tidak semua negara yang menjual berasnya kepada Indonesia minta pembayaran dengan tunai. Korea Selatan misalnya, meminjamkan beras sebanyak 70.000 ton yang diminta dibayar kembali dalam jangka waktu 15 tahun, termasuk 5 tahun masa tenggang bayar dan bunga 2%. Ini berarti bahwa sampai 1993 nanti Indonesia musti mengembalikan beras Korea Selatan seharga 78.500 ton. Tahun anggaran '78/'79, situasi beras nampaknya masih suram. Produksi beras memang disasarkan 17,3 juta ton. Kalau dapat dicapai memang seharusnya tak usah mengimpor lagi. Tapi stok penyangga telah merosot sekali. Dan karena Bulog merasa bahwa stok penyangga yang aman musti ditingkatkan dari 300 ton menjadi 700 ton maka tahun ini impor beras direncanakan sekitar 2,2 juta ton. Ini tetap merupakan jumlah yang besar. Dari jumlah tersebut separuh diharapkan berasal dari pembelian atas dasar PL-480 dan impor dari Muangthai. Di sinipun masih terdapat ketidakpastian yang bisa mengancam. Di kalangan Congress AS mulai terdengar suara yang mengusulkan agar anggota OPEC dicabut haknya untuk menerima bantuan PL-480. Muangthai belum pula bisa mengatakan "ya" terhadap permintaan Indonesia untuk pembelian beras tahun ini. Produksi beras Muangthai diramalkan kurang menggembirakan dan kesanggupan ekspornya hanya akan berjumlah 1,2 juta ton, lebih rendah dari biasanya. Dari RRC Kalau semua ini benar nantinya, maka Indonesia harus berusaha keras mencari sumber lain, dan yang paling mungkin adalah penambahan pembelian dari RRC. Memang selama ini RRC juga merupakan salah satu pensuplai utama beras untuk Indonesia. Cuma ruginya adalah karena pembelian beras dari RRC harus lewat broker di Hongkong yang berarti harga lebih mahal. Proyeksi tentang situasi pangan yang dibikin oleh Departemen Pertanian sampai 1983 menunjukkan bahwa beras masih akan merupakan masalah pada saat Pelita III berakhir. Pada April tahun depan konsumsi beras akan mencapai 23,3 juta ton, sementara atas dasar trend selama 10 tahun terakhir ini proyeksi produksinya hanya akan mencapai 20,3 juta ton. Artinya, kalau tak dicapai perbaikan dalam produksi beras, defisitnya akan lebih buruk lagi di tahun-tahun mendatang. Tarohlah 75% dari 8,5 juta hektar sawah dan 600.000 hektar ladang yang ada sekarang ini bisa diintensifikasi, itupun baru akan menghasilkan 21,2 juta ton. Satu-satunya jalan adalah pembukaan areal sawah di luar Jawa selekas mungkin, yang untuk menutup defisit beras sekurangnya harus dibuka 1 Juta hektar sawah. Tapi membuka 1 juta hektar sawah di luar Jawa dalam waktu 2 atau 3 tahun masih merupakan tandatanya besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus