SEKALIPUN dalam sidangnya di Amsterdam, IGGI bersama Bank Dunia
dan ADB berjanji menyediakan US$2,5 milyar, kecemasan timbul
bahwa sebagian bantuan untuk Indonesia itu akan terpaksa
digunakan untuk mengimpor beras. Wakil dari Bank Dunia dan IMF
dalam sidang tersebut (22-23 Mei) memperingatkan, jika nanti
tidak ada perbaikan dalam produksi pangan, dalam tahun 1980-an
Indonesia akan dipaksa menggunakan sebagian sumbernya untuk
membayar impor beras.
Para peserta sidang IGGI punya alasan kuat untuk khawatir panen
beras Indonesia tahun lalu gagal karena hama dan musim kemarau
yang panjang. IX lain pihak, sumber yang berasal dari minyak
akan berkurang, sementara pertambahan konsumsi minyak dalam
negeri tumbuh lebih cepat ketimbang produksinya. Dalam sidang
tersebut Menko Ekuin Widjojo Nitisastro berjanji bahwa Indonesia
akan memusatkan usahanya meningkatkan produksi pangan. Itu
antara lain akan dimulai pada tahun pertama Repelita III, dengan
extensifikasi di luar Jawa sebanyak 160.000 ha. Juga
ditemukannya varietas bibit padi baru VUTW yang lebih tahan
wereng, sudah akan dibagikan pada para petani dalam musim tanam
'78/'79.
Bahwa produksi Indonesia ternyata masih belum bisa diandalkan,
dapat dilihat pada impor beras yang dalam tahun anggaran '77-'78
mencapai 2,6 juta ton. Untung harga beras dunia saat itu berada
pada tingkat yang normal, yaitu sekitar US$250 per ton, karena
ternyata negara produsen beras lainnya cukup punya persediaan.
Namun demikian Indonesia harus membayar dengan cukup mahal juga:
sejumlah US$682 juta devisa tersedot keluar untuk impor beras,
menurut laporan IMF. Dengan jumlah sebesar 2,6 juta ton tersebut
yang diimpor dari sekitar 11 negara, Indonesia merupakan pembeli
beras terbesar di dunia. Jumlah yang dibeli mewakili seperempat
dari jumlah yang tersedia di pasaran dunia.
Bagi Indonesia, sebesar 2,6 juta ton tersebut merupakan jumlah
pembelian yang dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Untunglah
tidak semua negara yang menjual berasnya kepada Indonesia minta
pembayaran dengan tunai. Korea Selatan misalnya, meminjamkan
beras sebanyak 70.000 ton yang diminta dibayar kembali dalam
jangka waktu 15 tahun, termasuk 5 tahun masa tenggang bayar dan
bunga 2%. Ini berarti bahwa sampai 1993 nanti Indonesia musti
mengembalikan beras Korea Selatan seharga 78.500 ton.
Tahun anggaran '78/'79, situasi beras nampaknya masih suram.
Produksi beras memang disasarkan 17,3 juta ton. Kalau dapat
dicapai memang seharusnya tak usah mengimpor lagi. Tapi stok
penyangga telah merosot sekali. Dan karena Bulog merasa bahwa
stok penyangga yang aman musti ditingkatkan dari 300 ton menjadi
700 ton maka tahun ini impor beras direncanakan sekitar 2,2 juta
ton. Ini tetap merupakan jumlah yang besar. Dari jumlah tersebut
separuh diharapkan berasal dari pembelian atas dasar PL-480 dan
impor dari Muangthai.
Di sinipun masih terdapat ketidakpastian yang bisa mengancam. Di
kalangan Congress AS mulai terdengar suara yang mengusulkan agar
anggota OPEC dicabut haknya untuk menerima bantuan PL-480.
Muangthai belum pula bisa mengatakan "ya" terhadap permintaan
Indonesia untuk pembelian beras tahun ini. Produksi beras
Muangthai diramalkan kurang menggembirakan dan kesanggupan
ekspornya hanya akan berjumlah 1,2 juta ton, lebih rendah dari
biasanya.
Dari RRC
Kalau semua ini benar nantinya, maka Indonesia harus berusaha
keras mencari sumber lain, dan yang paling mungkin adalah
penambahan pembelian dari RRC. Memang selama ini RRC juga
merupakan salah satu pensuplai utama beras untuk Indonesia. Cuma
ruginya adalah karena pembelian beras dari RRC harus lewat
broker di Hongkong yang berarti harga lebih mahal.
Proyeksi tentang situasi pangan yang dibikin oleh Departemen
Pertanian sampai 1983 menunjukkan bahwa beras masih akan
merupakan masalah pada saat Pelita III berakhir. Pada April
tahun depan konsumsi beras akan mencapai 23,3 juta ton,
sementara atas dasar trend selama 10 tahun terakhir ini proyeksi
produksinya hanya akan mencapai 20,3 juta ton.
Artinya, kalau tak dicapai perbaikan dalam produksi beras,
defisitnya akan lebih buruk lagi di tahun-tahun mendatang.
Tarohlah 75% dari 8,5 juta hektar sawah dan 600.000 hektar
ladang yang ada sekarang ini bisa diintensifikasi, itupun baru
akan menghasilkan 21,2 juta ton. Satu-satunya jalan adalah
pembukaan areal sawah di luar Jawa selekas mungkin, yang untuk
menutup defisit beras sekurangnya harus dibuka 1 Juta hektar
sawah. Tapi membuka 1 juta hektar sawah di luar Jawa dalam waktu
2 atau 3 tahun masih merupakan tandatanya besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini