Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Tahun 2017 adalah saat yang berat bagi bisnis retail. Sejumlah toko retail gulung tikar, sebagian lainnya memilih untuk memangkas cabang.
Lesunya sektor retail tecermin dalam riset Global Retail Development Index yang dikeluarkan ATKearney, pada Juni lalu. Tahun ini, Indonesia menempati posisi delapan atau turun tiga peringkat dari 2016. ATKearney menyebut penjualan retail di Indonesia mencapai US$ 350 miliar tahun ini, atau hanya naik 8,02 persen dibandingkan 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATKearney pun memperingatkan peretail agar mewaspadai potensi guncangan ekonomi lantaran inflasi yang diperkirakan meningkat hingga 4,5 persen pada akhir tahun. “Ini dapat memperburuk belanja konsumen. Defisit fiskal juga membuat kurs rupiah rentan, sehingga memperlemah daya beli konsumen berpenghasilan rendah,” demikian petikan riset tersebut.
Badan Pusat Statistik mengamini lesunya sektor retail. Berdasarkan perhitungan BPS yang dipublikasikan pada awal November lalu, tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2017 sebesar 4,93 persen. Terjadi penurunan pertumbuhan konsumsi komponen pakaian, alas kaki dan jasa perawatan dari 2,24 persen di triwulan III-2016 menjadi 2,00 persen di triwulan III tahun ini.
Baca: Bisnis Retail Lesu, Ramayana Buka Tiga Gerai Baru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantai 2 Matahari Mall Taman Anggrek ditutup sejak kemarin. Dua lantai lainnya akan ditutup bertahap dalam waktu dekat. Tempo/Vindry Florentin
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto, mengatakan semua lembaga riset menunjukan hasil yang sama yaitu terjadi pergeseran tren dari belanja offline ke online. “Tren belanja online ke depan akan semakin besar, tetapi sekarang porsinya sebetulnya belum terlalu signifikan,” kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, 6 November 2017.
Sepanjang 2017, tercatat lima toko retail raksasa tutup atau memangkas cabang. Lotus menutup tiga gerainya di Jakarta dan Bekasi pada akhir Oktober 2017. Penutupan gerai oleh induk usaha Lotus, PT Mitra Adi Perkasa (MAP) Tbk dilakukan karena terus merugi.
Toko retail kedua yang tutup adalah 7-Eleven. PT Modern Internasional Tbk (MDRN) menutup seluruh gerai 7-Eleven pada 30 Juni 2017 karena besarnya biaya operasional yang tak sebanding dengan pendapatan. Hingga Maret 2017, kerugian 7-Eleven tembus Rp 447,93 miliar.
Selain itu, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup gerai Matahari Departement Store di Pasaraya Manggarai dan Pasaraya Blok M pada September 2017. Pada pertengahan November 2017, Matahari kembali menutup gerai di Taman Anggrek dan Lombok City Center.
Pada Desember ini, PT Mitra Adi Perkasa kembali menutup toko retailnya, Debenhams di Senayan City. Sebelumnya perusahaan telah menutup gerai Debenhams di Kemang Village dan Supermall Karawaci. Ada pula PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk yang menutup delapan gerai supermarketnya pada 28 Agustus 2017.
Department Store Debenhams menggelar program Black Friday yang menawarkan potongan harga hingga 80 persen di Senayan City Jakarta, 25 November 2017. Program diskon berlangsung selama 24-26 November 2017. Tempo | Hendartyo Hanggi
Selain departemen store, pemegang lisensi GAP di Indonesia, PT Gilang Agung Persada menutup seluruh tokonya di Indonesia. Selain di Pondok Indah Mall dan Grand Indonesia, toko lainnya yang ditutup adalah Lippo Mall Puri. Sisanya ada di Kuta Beach Walk, Bali dan Tunjungan Plaza 4, Surabaya.
Tutupnya toko-toko retail, menurut Presiden Joko Widodo, bukan disebabkan anjloknya daya beli melainkan pergeseran belanja masyarakat dari offline ke online. Asumsi itu berdasarkan data naiknya penerimaan jasa kurir dan pajak sewa gudang yang meningkat.
Menurut Jokowi, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia melainkan di sejumlah negara termasuk di Cina. “Daya beli shifting dari offline ke online,” kata Jokowi dalam acara Kamar Dagang Industri (Kadin) di Jakarta, Selasa, 3 Oktober 2017.
Perubahan pola belanja ini antara lain terlihat dalam berbagai pekan diskon belanja daring. Nilai transaksi Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 yang digelar pertengahan Desember 2017 misalnya, melampaui pencapaian tahun lalu sebesar Rp 3,3 triliun. Ketua Panitia Harbolnas 2017, Achmad Alkatiri, optimistis target penjualan sebesar Rp 4,6 triliun tercapai setelah transaksi dan lalu lintas pengakses situs-situs e-commerce melambung pada waktu tertentu.
Namun perubahan pola konsumsi, sejatinya bukan satu-satunya faktor penyebab rontoknya bisnis retail. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono mengakui perubahan pola belanja dan offline ke online sedang terjadi. Kendati begitu, dia meyakini e-commerce tak akan 100 persen menggantikan transaksi perdagangan tradisional. "Hanya sebagian, mungkin nanti hingga 20 persen saja," kata Tony.
Ihwal lesunya bisnis retail tahun ini, menurut Tony disebabkan oleh terjadinya over supply. “Tanpa e-commerce pun sudah mulai terjadi over supply di mall, sehingga secara natural tetap ada yang tutup karena kalah bersaing,” ujarnya, Sabtu, 23 Desember 2017.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | GHOIDA RAHMAH | VINDRY FLORENTIN