Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Karena hakim tidak melarang

Pemotretan atas jalannya liputan persidangan di pengadilan menjadi bahan pro & kontra. sebagian pers menganggap tak perlu merahasiakan identitas tertuduh. (md)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Karena hakim tidak melarang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KETIKA memberi kesaksian di Mahkamah Militer Tinggi II/Timur, Surabaya dengan alasan malu, Soepadmi semula menolak dipotret. Dan demi menghormati hak pribadi seseorang, Hakim Ketua Brigjen Karyono Yudho SH, meminta pula agar para juru foto menaatinya. Tapi mereka tak mengindahkan permintaan tadi. Wajah manis janda muda itu dari berbagai sudut, sekalipun dihalangi kain, mereka potret sepuas hati. Mereka bahkan melintas sesukanya di depan majelis hakim. Merasa kewalahan, hakim ketua akhirnya mengizinkan Soepadmi dipotret. Sore harinya (11 Maret) Soepadmi muncul dengan wajah tertutup kain di halaman depan koran Surabaya Post (Surabaya). Dengan alasan menghormati hak asasi dan masa depan seseorang, koran itu biasanya tidak memasang foto tertuduh atau saksi di pengadilan. Juga koran Pos Kota (Jakarta), sering menutup foto bagian mata tertuduh -- walaupun jelas, misalnya, ia seorang pencopet yang tertangkap basah. Siswadji Pemotretan Soepadmi dengan cara setengah memaksa itu, menurut Suardi Tasrif SH, Ketua Dewan Kehormatan PWI, melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Hak Cipta 1972. Tapi dalan menghadapi sejumlah kasus perkara kriminal, beberapa pihak tentu bisa berbeda pendapat. Sebagian pers, misalnya, menganggap tak perlu merahasiakan identitas tertuduh apabila yang bersangkutan adalah tokoh dikenal masyarakat. Yang penting di dalam pemberitaan, pers tidak mengadilinya (trial by the press). Kasus korupsi Letnan Jenderal (Polisi) Siswadji merupakan contoh menarik. Sekalipun identitas berikut sejumlah kesalahannya sudah diungkapkan Operasi Tertib Pusat, pers sekalipun tidak pernah berusaha mengadili dengan tulisannya. Bila sudah demikian soal foto dan singkatan nama tertuduh menjadi tidak penting lagi. Pandangan kalangan pers itu ternyata selaras dengan pendapat sejumlah hakim. Contohnya Soemadijono SH, bekas Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketika mengadili Endang Wijaya, terdakwa manipulasi kredit bank, ia malahan memberikan waktu lima menit kepada wartawan untuk memotretnya. Berbeda dengan Soemadijono, hakim lain di Pengadilan Jakarta Pusat, sesekali merintangi juru foto, terutama bila orang mau memotret tertuduh dari belakang hakim. Juga sesekali saja hakim di Pengadilan Surabaya menegur bila dianggapnya juru foto mengganggu ketertiban sidang. Tapi jarang sekali hakim mengaitkan larangan memotret dengan UU Hak Cipta 1972. Toh seseorang belum tentu akan menyiarkan hasil pemotretannya. Tasrif, yang juga jadi pengacara, menyatakan bahwa sejumlah hak tertuduh di pengadilan memang sering tak diperhatikan. "Bukan hanya hakim, pembela dan terdakwa pun banyak yang tidak mengetahui hak-hak tersebut," katanya. Intel Pemerintah Tapi Syamsuddin Manan, pengacara yang juga jadi Pemimpin Redaksi Mimbar Umum di Medan, pernah menggunakan hak itu ketika (1973) membela Gindo Siregar. Terdakwa Gindo, 24 tahun secara tak sengaja telah merenggut nyawa temannya dengan pistol. Dengan alasan melindungi masa depan tertuduh beserta istri dan anaknya, Syamsuddin meminta lewat hakim agar wartawan tidak menyiarkan foto tertuduh. Hakim mengabulkan permintaan tersebut, sementara sejumlah wartawan menyumpahi sang pengacara. Haruskah UU Hak Cipta itu diterapkan di pengadilan? Pengacara yang ingin populer tentu tak menghendakinya. Pemimpin gerakan mahasiswa seperti Lukman Hakim (Ketua Dewan Mahasiswa UI 1978) justru menginginkan media massa mempublisitaskan suasana peradilan atas dirinya. Juga Mahkamah Militer Luar Biasa membiarkan pemotretan atas sejumlah tokoh G.30.S/PKI yang diadili. Dalam sejumlah kasus peradilan politik, UU Hak Cipta jelas tidak diterapkan. Untuk tindak pidana kriminal murni, pemakaiannya masih bisa diperdebatkan. Namun hakim yang membuka sidang perkara kriminal selalu berkata, "Sidang terbuka untuk umum." Sejak itu seolah tiada lagi kerahasiaan tertuduh. Kini di 27 negara bagian Amerika Serikat, juru kamera televisi setempat diperbolehkan menyiarkan secara langsung jalannya persidangan. Hal ini suatu kemenangan buat media massa AS. Sebab lembaga peradilan di AS selama ini tak pernah memperkenankan juru foto apalagi juru kamera televisi merekam suasana pengadilan. Tapi di Florida, televisi tetap tidak diperkenankan meliput peradilan atas anak-anak, intel pemerintah dan kejahatan seks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus