KETIKA memberi kesaksian di Mahkamah Militer Tinggi II/Timur,
Surabaya dengan alasan malu, Soepadmi semula menolak
dipotret. Dan demi menghormati hak pribadi seseorang, Hakim
Ketua Brigjen Karyono Yudho SH, meminta pula agar para juru
foto menaatinya.
Tapi mereka tak mengindahkan permintaan tadi. Wajah manis
janda muda itu dari berbagai sudut, sekalipun dihalangi kain,
mereka potret sepuas hati. Mereka bahkan melintas sesukanya di
depan majelis hakim. Merasa kewalahan, hakim ketua akhirnya
mengizinkan Soepadmi dipotret.
Sore harinya (11 Maret) Soepadmi muncul dengan wajah tertutup
kain di halaman depan koran Surabaya Post (Surabaya). Dengan
alasan menghormati hak asasi dan masa depan seseorang, koran itu
biasanya tidak memasang foto tertuduh atau saksi di pengadilan.
Juga koran Pos Kota (Jakarta), sering menutup foto bagian mata
tertuduh -- walaupun jelas, misalnya, ia seorang pencopet yang
tertangkap basah.
Siswadji
Pemotretan Soepadmi dengan cara setengah memaksa itu, menurut
Suardi Tasrif SH, Ketua Dewan Kehormatan PWI, melanggar Kode
Etik Jurnalistik dan UU Hak Cipta 1972. Tapi dalan menghadapi
sejumlah kasus perkara kriminal, beberapa pihak tentu bisa
berbeda pendapat. Sebagian pers, misalnya, menganggap tak perlu
merahasiakan identitas tertuduh apabila yang bersangkutan adalah
tokoh dikenal masyarakat. Yang penting di dalam pemberitaan,
pers tidak mengadilinya (trial by the press).
Kasus korupsi Letnan Jenderal (Polisi) Siswadji merupakan contoh
menarik. Sekalipun identitas berikut sejumlah kesalahannya sudah
diungkapkan Operasi Tertib Pusat, pers sekalipun tidak pernah
berusaha mengadili dengan tulisannya. Bila sudah demikian soal
foto dan singkatan nama tertuduh menjadi tidak penting lagi.
Pandangan kalangan pers itu ternyata selaras dengan pendapat
sejumlah hakim. Contohnya Soemadijono SH, bekas Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Ketika mengadili Endang Wijaya, terdakwa
manipulasi kredit bank, ia malahan memberikan waktu lima menit
kepada wartawan untuk memotretnya.
Berbeda dengan Soemadijono, hakim lain di Pengadilan Jakarta
Pusat, sesekali merintangi juru foto, terutama bila orang mau
memotret tertuduh dari belakang hakim. Juga sesekali saja hakim
di Pengadilan Surabaya menegur bila dianggapnya juru foto
mengganggu ketertiban sidang. Tapi jarang sekali hakim
mengaitkan larangan memotret dengan UU Hak Cipta 1972. Toh
seseorang belum tentu akan menyiarkan hasil pemotretannya.
Tasrif, yang juga jadi pengacara, menyatakan bahwa sejumlah hak
tertuduh di pengadilan memang sering tak diperhatikan. "Bukan
hanya hakim, pembela dan terdakwa pun banyak yang tidak
mengetahui hak-hak tersebut," katanya.
Intel Pemerintah
Tapi Syamsuddin Manan, pengacara yang juga jadi Pemimpin Redaksi
Mimbar Umum di Medan, pernah menggunakan hak itu ketika (1973)
membela Gindo Siregar. Terdakwa Gindo, 24 tahun secara tak
sengaja telah merenggut nyawa temannya dengan pistol. Dengan
alasan melindungi masa depan tertuduh beserta istri dan anaknya,
Syamsuddin meminta lewat hakim agar wartawan tidak menyiarkan
foto tertuduh. Hakim mengabulkan permintaan tersebut, sementara
sejumlah wartawan menyumpahi sang pengacara.
Haruskah UU Hak Cipta itu diterapkan di pengadilan? Pengacara
yang ingin populer tentu tak menghendakinya. Pemimpin gerakan
mahasiswa seperti Lukman Hakim (Ketua Dewan Mahasiswa UI 1978)
justru menginginkan media massa mempublisitaskan suasana
peradilan atas dirinya. Juga Mahkamah Militer Luar Biasa
membiarkan pemotretan atas sejumlah tokoh G.30.S/PKI yang
diadili.
Dalam sejumlah kasus peradilan politik, UU Hak Cipta jelas tidak
diterapkan. Untuk tindak pidana kriminal murni, pemakaiannya
masih bisa diperdebatkan. Namun hakim yang membuka sidang
perkara kriminal selalu berkata, "Sidang terbuka untuk umum."
Sejak itu seolah tiada lagi kerahasiaan tertuduh.
Kini di 27 negara bagian Amerika Serikat, juru kamera televisi
setempat diperbolehkan menyiarkan secara langsung jalannya
persidangan. Hal ini suatu kemenangan buat media massa AS. Sebab
lembaga peradilan di AS selama ini tak pernah memperkenankan
juru foto apalagi juru kamera televisi merekam suasana
pengadilan. Tapi di Florida, televisi tetap tidak diperkenankan
meliput peradilan atas anak-anak, intel pemerintah dan kejahatan
seks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini