Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menanggapi soal tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diduga menjual senjata ilegal ke Myanmar. Tiga perusahaan pelat merah itu yakni PT Pindad, PT PAL Indonesia, dan PT Dirgantara Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun organisasi yang tergabung dalam koalisi sipil yakni Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Centra Initiative, Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), SETARA Institute, Forum De Facto, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Amnesty International Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lainnya, ada Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), LBH Jakarta, LBH Pers, dan Human Rights Working Group (HRWG). Koalisi sipil ini mendesak untuk dilakukan empat hal.
Pertama, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi dan pemeriksaan. Serta mengajukan pengadilan HAM terhadap dugaan kuat keterlibatan Pemerintah Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, serta tiga perusahaan BUMN.
“Dalam pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan dan atau kejahatan genosida yang dilakukan oleh orang-orang Junta Militer Myanmar,” ujar Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mewakili koalisi sipil lewat keterangan tertulis pada Kamis, 5 Oktober 2023.
Desakan kedua, meminta Jaksa Agung untuk melakukan koordinasi dan supervisi penyidikan kepada Komnas HAM dalam melakukan investigasi dan pemeriksaan. Serta persiapan pengadilan HAM terhadap dugaan kuat keterlibatan Pemerintah Indonesia, Kementerian Polhukam, Kementerian Pertahanan, serta 3 perusahaan BUMN dalam pelanggaran HAM berat itu.
Ketiga, mendesak Ombudsman untuk memeriksa dugaan kuat terjadinya maladministrasi kerja sama dugaan supply senjata secara ilegal oleh Pemerintah Indonesia, Kementerian Polhukam, Kementerian Pertahanan, serta 3 perusahaan BUMN. Yang diduga melanggar ketentuan dalam Instrumen HAM (DUHAM, Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob, UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, dan lainnya), yang berdampak pada pelanggaran HAM berat.
Keempat koalisi mendesak Komisi DPR RI untuk menyelidiki permasalahan ini. “Komisi I DPR juga dapat mendorong perubahan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar memungkinkan penyelidikan pro justitia bisa dilakukan Komnas HAM dan dilanjutkan oleh Jaksa Agung serta diperiksa di bawah yurisdiksi peradilan HAM Indonesia,” ucap Isnur.
Selanjutnya: Awal dugaan 3 BUMN jual senjata ilegal ke Myanmar...
Awal dugaan 3 BUMN jual senjata ilegal ke Myanmar
Menurut Isnur, kabar soal penjualan senjata ilegal oleh tiga BUMN itu bermula pada Senin, 2 Oktober 2023 lalu. Di mana mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman bersama Myanmar Accountability Project dan Chin Za Uk Ling (Pegiat HAM) melaporkan dugaan penjualan illegal senapan serbu, pistol, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan militer lainnya.
Penjualan ilegal itu dilakukan kepada Junta Militer Myanmar di bawah Jenderal Min Aung Hlain, pada durasi terjadinya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Berdasarkan laporan Marzuki tersebut, dugaan penjualan senjata secara ilegal itu berbalut dalam beberapa bentuk kerja sama.
Misalnya seperti di bawah memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepakatan oleh PT Pindad melalui perusahaan broker senjata yang berbasis di Myanmar, True North Co. Ltd. Perusahaan Myanmar itu dimiliki oleh Htoo Shein Oo yang adalah putra kandung dari Menteri Perencanaan dan Keuangan Junta Militer Myanmar, bernama Win Shein.
“Marzuki merujuk pada data perusahaan perantara senjata True North, Co. Ltd., bahwa tiga perusahaan BUMN Indonesia terus mentransfer amunisi setelah percobaan kudeta Pemerintah Myanmar,” kata Isnur.
Pelanggaran HAM berat di Myanmar
Berdasarkan Laporan PBB, Pelanggaran HAM Berat di Myanmar telah terjadi sejak tahun 1990-an yang dilakukan oleh militer. Termasuk dugaan Kejahatan Genosida terhadap etnis minoritas Rohingya yang secara sistematis dan meluas di Rakhine, dengan tindakan pembunuhan, penyiksaan, rudapaksa massal terhadap ribuan anak dan perempuan, pembakaran desa-desa dan rumah ibadah, mutilasi, intimidasi dan ancaman fisik, dan lainnya.
Di tangan rejim Junta Militer Jendral Min, menurut catatan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Burma, terjadi pembunuhan massal terhadap lebih dari 4.100 orang dan penangkapan di luar hukum terhadap lebih dari 25 ribu orang. “Atas dugaan itu, PBB menyerukan negara-negara anggotanya untuk menghentikan penjualan senjata ke Myanmar demi mencegah berlanjutnya pelanggaran HAM berat di Myanmar,” tutur Isnur.
Dia menilai, munculnya dugaan penjualan senjata secara ilegal oleh BUMN menandakan bahwa Pemerintah Indonesia berkontribusi terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Myanmar itu. BUMN di bidang pertahanan ini dinilai bertindak dengan sepengetahuan dan persetujuan dari instansi negara seperti Kementerian Pertahanan dan Kementerian Koordinator Polhukam termasuk TNI.
Selanjutnya: Defend ID Membantah Penjualan Senjata Ilegal ke Myanmar...
Bantahan Defend ID
Holding BUMN industri pertahanan atau Defend ID angkat bicara soal tuduhan bahwa ada perusahaan pelat merah yang menjual senjata ilegal ke Myanmar. Defend ID menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan ekspor produk industri pertahanan ke Myanmar setelah 1 Februari 2021.
Sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar," kata Defend ID dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Rabu, 4 Oktober 2023.
Defend ID lewat PT Len Industri (Persero) sebagai induk holding serta beranggotakan PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia, mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar.
Selain Itu, Defend ID menegaskan bahwa PT Pindad tidak pernah melakukan ekspor ke Myanmar setelah adanya himbauan Dewan Keamanan PBB per 1 Februari 2021. "Kami pastikan bahwa PT Pindad tidak melakukan kegiatan ekspor produk alpalhankam ke Myanmar terutama setelah adanya himbauan Dewan Keamanan PBB pada 1 Februari 2021 terkait kekerasan di Myanmar," tulis Defend ID.
Defend ID menambahkan, ekspor ke Myanmar yang dilakukan pada tahun 2016 berupa produk amunisi spesifikasi sport. Ekspor tersebut dilakukan untuk keperluan keikutsertaan Myanmar pada kompetisi olahraga tembak ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) 2016.
"Sama halnya dengan PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia yang dipastikan tak memiliki kerja sama penjualan produk ke Myanmar. Tidak ada kerja sama maupun penjualan produk Alpalhankam dari kedua perusahaan tersebut ke Myanmar," tulis Defend ID.
Sebagai perusahaan yang memiliki kemampuan produksi untuk mendukung sistem pertahanan yang dimiliki negara, Defend ID selalu selaras dengan sikap Pemerintah Indonesia. "Kami selalu patuh dan berpegang teguh pada regulasi yang berlaku termasuk kebijakan politik luar negeri Indonesia."
MOH KHORY ALFARIZI | YOHANES MAHARSO JOHARSOYO
Pilihan Editor: Mentan Syahrul Yasin Limpo Tiba di Kementan untuk Berpamitan, Para Pegawai Sambut hingga Cium Tangan