Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK percuma Menteri Kehutanan Mohamad Prakosa datang ke Tanjung Perak, awal September lalu. Di pelabuhan Surabaya ini, Prakosa memergoki 29 unit peti kemas ukuran 20 kaki berisi kayu gergajian ilegal. Kayu jenis jati muna, bengkirai, dan meranti senilai Rp 900 juta itu siap dikirim ke Cina dan Hong Kong.
Kayu ini dikategorikan ilegal karena dokumen ekspornya menyebut peti kemas itu berisi mebel. Namun, setelah membongkar enam dari 29 peti kemas itu, isinya sama semua, ya kayu gergajian tadi. Sudah terang itu kayu curian karena tak dilengkapi dokumen sah.
Departemen Kehutanan menetapkan, kayu gergajian baru boleh diekspor jika sudah ada rekomendasi dari departemen tersebut. Dan sejak Desember 2002, Departemen Kehutanan tidak pernah mengeluarkan selembar pun surat rekomendasi ekspor kayu gergajian. "Jadi, patut dicurigai bila ada kayu gergajian bisa diekspor ke luar negeri," kata Direktur Peredaran dan Pemanfaatan Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Bambang Edy.
Nyatanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada ekspor kayu gergajian sampai 293,6 ribu meter kubik pada 2003, senilai US$ 85,8 juta atau Rp 686,4 miliar (Rp 8.000 per dolar). Data BPS itulah yang dipakai Departemen Kehutanan sebagai laporan ke Food and Agriculture Organization (FAO).
Bambang memperkirakan, bila data ekspor itu benar, pemilik kayu ilegal itu diyakini tidak membayar pajak ekspor, dana reboisasi, dan provisi sumber daya hutan. Artinya, kerugian negara jauh lebih besar dari nilai kayu itu. Belum lagi hilangnya kekayaan sumber daya alam yang mencapai Rp 82 miliar per hari.
Karena itulah Prakosa akan sekalian melarang ekspor kayu gergajian lewat surat keputusan bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi. Prakosa berharap upaya menekan pencurian kayu bisa dilakukan lewat pelarangan ekspor kayu gergajian. "Mudah-mudahan kebijakan ini akan keluar minggu depan (pekan ini)," ujar Prakosa.
Mampukah instrumen tata niaga ini menekan penyelundupan kayu? Pertanyaan ini layak diajukan karena pelarangan ekspor log (kayu bulat) pada Oktober 2001 toh tak juga menyurutkan pencurian dan penyelundupan kayu. "Kebijakan ini memang tidak akan serta-merta membuat penyelundup mati langkah, tapi setidaknya bisa meredam," kata Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan, Soewarni.
Paling tidak, modus penyelundupan dengan menipu lewat dokumen ekspor, seperti yang sering dilakukan di Jawa Tengah, Jambi, dan Riau, bisa dihambat. Di Jawa Tengah, kayu jenis sengon biasanya hanya dipotong-potong tanpa dikeringkan dengan kiln dry, kemudian langsung diekspor ke Cina.
Parahnya lagi, eksportir tidak membayar pajak ekspor sebesar 15 persen. Caranya, di dokumen ekspor ditulis sebagai produk kayu setengah jadi, seperti molding, atau produk jadi seperti mebel. "Produk kayu ini tidak kena pajak ekspor," kata Soewarni.
Prakosa tak berani meramalkan kebijakan penyetopan ekspor kayu gergajian itu bisa meredam penyelundupan. Rencana pelarangan ini, menurut Prakosa, tidak semata karena maraknya penyelundupan, tapi juga untuk mendorong ekspor produk kayu jadi dan meningkatkan nilai tambah industri pengolahan kayu di dalam negeri.
Larangan ekspor ini juga untuk mendongkrak pasokan bahan baku kayu ke industri pengolahan kayu domestik, yang saat ini tengah menghadapi kesulitan bahan baku. Tingkat kerusakan hutan yang kini mencapai 3,2 juta hektare setahun memaksa pemerintah menurunkan secara drastis jatah produksi kayu dari hutan alam, dan ini membuat kayu jadi langka.
Menurut Soewarni, jatah produksi kayu dari hutan alam tahun ini hanya 5,7 juta meter kubik. Angka ini tentu tak mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu nasional, yang mencapai 42,3 juta meter kubik setahun. Makanya tak aneh bila ada industri kayu dalam negeri yang terpaksa mengimpor sekitar 2 juta meter kubik kayu pada tahun lalu.
Industri kayu juga harus mencari pasokan kayu dari hutan tanaman industri dan hutan rakyat, masing-masing 10 juta meter kubik. "Karena pasokan kayu masih terbatas, industri pengolahan kayu seperti industri kayu lapis harus meningkatkan efisiensi dan mencari alternatif bahan baku kayu di luar hutan alam," kata Soewarni.
Pakar ekonomi kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Togu Manurung, memprediksi larangan itu tidak akan berhasil. "Berkacalah dari kebijakan melarang ekspor log tiga tahun silam," kata Togu mengingatkan. Alih-alih menekan pencurian dan perdagangan kayu, penghancuran hutan justru makin merajalela.
Di dalam negeri, industri kayu tetap saja kekurangan bahan baku. "Itu artinya pemerintah kembali menggunakan resep yang salah untuk penyakit illegal logging yang sudah akut," ujarnya. Menurut Togu, pencurian dan perdagangan kayu ilegal murni kasus hukum, bukan kasus ekonomi. Karena itu, kunci penyelesaiannya hanya dengan menegakkan hukum.
Selama aparat gampang disogok, selama itu pula penghancuran hutan terus berlangsung. "Kita memang sudah muak bicara korupsi, tapi ini fakta yang tak kunjung diatasi pemerintah," kata Togu. Teori ekonomi kehutanan juga tak akan berlaku selama perusak hutan tak pernah dibuat jera.
Maraknya penyelundupan kayu juga sangat menguntungkan negara pesaing produk kayu Indonesia. Bahan baku kayu ilegal dari Indonesia yang masuk ke Cina dan Malaysia, misalnya, dijual dengan harga murah dan diproses menjadi produk kayu jadi dengan sangat efisien. Sialnya, produk kayu jadi itu masuk lagi ke Indonesia. Bisa dipastikan, produk kayu dalam negeri yang tidak efisien akan kelimpungan menghadapi gempuran produk impor ini. "Kita tidak akan bisa bersaing. Apalagi industri Cina ditopang oleh iklim perekonomian yang efisien," kata Togu.
Kekhawatiran masuknya produk kayu Cina diperkuat Soewarni. Informasi dari daerah menyebutkan, saat ini ada mebel Cina yang masuk Indonesia dengan harga lebih murah dibanding harga dalam negeri. Mebel ini dicurigai masuk secara ilegal melalui Singapura, yang dibawa ke Sarawak, Malaysia. Dari sini mebel itu diangkut lewat jalan darat ke Pontianak.
Cina sendiri dicurigai sebagai penadah kayu ilegal dari Indonesia, selain Malaysia. Menurut Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Transtoto Handadhari, ekspor resmi kayu log dan gergajian Indonesia ke Cina jauh lebih rendah dibanding ekspor ilegal. "Contohnya, pada 2002 Indonesia hanya mengekspor 336 ribu meter kubik kayu gergajian, tapi Cina melaporkan kayu gergajian asal Indonesia mencapai 1,22 juta meter kubik," kata Transtoto.
Soal penegakan hukum, Prakosa mengaku solusi itu di luar kewenangannya. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang illegal logging, yang diharapkan memberinya mandat untuk menyeret pencuri kayu ke penjara, pun tak kunjung keluar. "Saya tidak tahu mengapa susah betul menangkap penyelundup kayu," kata Prakosa.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo