Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Sekadar Memulihkan

Kepercayaan bank kepada industri sandang mulai pulih. Perlu lebih banyak aksi.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Tak Sekadar Memulihkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

RUANG serbaguna di lantai tiga Gedung Bank Indonesia (BI) seperti menyempit, Kamis dua pekan lalu. Sepuluh meja disiapkan menyambut tamu: 14 bank dan 70 pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT). Setelah melakukan presentasi, BI mempersilakan para pengusaha bernegosiasi dengan bank perihal kredit yang dibutuhkan. Inilah upaya BI "menjodohkan" bank yang masih enggan mengucurkan kreditnya ke industri TPT.

Soalnya, tingkat kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) industri TPT tinggi: di atas 10 persen. Perbankan khawatir kredit yang dikucurkannya berakhir macet. Pertemuan itu menindaklanjuti workshop yang digagas BI sebulan lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, industri TPT "curhat" soal minimnya kredit bank ke industri TPT pasca-krisis.

Hampir 80 persen mesin industri TPT nasional tua-renta—rata-rata di atas sepuluh tahun. Dari sekitar 3.000 perusahaan di industri sandang ini, ternyata 700 perusahaan masih bankable. Menurut Dirjen Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Subagyo, kebutuhan dana peremajaan mesin 700 perusahaan itu mencapai US$ 400 juta.

Dari 14 bank yang merespons kuesioner BI, 10 bank hadir untuk bertemu calon debitornya. Mereka adalah Bank Mandiri, Danamon, BCA, Panin, NISP, Buana, Indexelindo, IFI, Indomonex, dan Mayapada. Ke-10 bank itu ternyata tidak asing dengan industri TPT. Beberapa bank seperti Mandiri, NISP, dan Mayapada bahkan menyalurkan kredit TPT 12,5 persen dari total kreditnya.

Sebagian bank bersedia memberikan kredit tanpa batasan plafon. "Tapi ada bank yang hanya bersedia memberikan kredit di bawah Rp 5 miliar," kata Subagyo pekan lalu. Direktur Utama Bank NISP, Pramukti Surjaudaja, mengaku masih menaruh harapan di industri sandang. Bahkan tahun ini bank yang berpusat di Bandung, sentra industri TPT terbesar di Tanah Air, itu memberi kredit ke industri TPT mencapai Rp 800 miliar. "Tahun depan kemungkinan naik sekitar 30 persen," kata Pramukti.

Hal senada diakui Bank BCA. Menurut Direktur Keuangan BCA, Jahja Setiamihardja, pihaknya sudah mengucurkan kredit ke industri TPT yang berada di Bandung per triwulan. Tetap berhati-hati dan berorientasi laba, BCA percaya membantu industri adalah salah satu cara mempertahankan nasabah. "Jika pada saat mereka susah kita tidak membantu, ke depan tidak ada nasabah yang mau meminjam ke BCA," katanya.

Meski "penjodohan" itu tampak berhasil, pemerintah menilai perlu tindak lanjut lebih konkret. Sebab, bank masih meminta data lebih detail mengenai kinerja dan agunan perusahaan. Sedangkan dunia usaha masih mempertanyakan status penjamin dan tingkat bunga. "Kami minta BI memfasilitasi lagi pertemuan dengan bank, sekaligus memantau kemajuannya," ujar Subagyo. Pertemuan serupa rencananya akan digelar di Bandung.

Upaya BI dan Departemen Perindustrian menjadi "mak comblang" memang tak keliru. Potensi industri TPT bagi perekonomian nasional terbilang besar. Kinerja ekspornya masih tertinggi di sektor nonmigas: US$ 7 miliar (Rp 60 triliun). Bahkan, pada 2000, nilai ekspornya mencapai angka tertinggi: US$ 8,2 miliar atau hampir Rp 70 triliun. Dari sisi tenaga kerja, industri ini menyerap 1,8 juta pekerja.

Apalagi pasar dunia TPT mulai 1 Januari 2005 makin terbuka. Pasar besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa tak lagi menerapkan kuota. Menurut International Textiles and Clothing Bureau, pasca-kuota pasar TPT dunia akan kian gemuk dari US$ 353 miliar menjadi US$ 596 miliar. Indonesia, yang pangsa pasar dunianya baru 2 persen, tentu berkesempatan menikmati peluang ini. "Indonesia ingin meningkatkan pangsa pasar dunianya menjadi US$ 9,69 miliar pada 2010, atau menjadi 4 persen," kata Subagyo.

Jika program peremajaan ini berhasil, produktivitas yang semula rendah kembali tinggi. Misalnya, satu mesin garmen yang tadinya hanya memproduksi 5 baju dengan teknologi baru bisa menjadi 10 baju. Dengan meningkatnya produksi, time life-nya pun jadi lebih singkat. Saat ini time life TPT Indonesia masih 90 hari. Padahal pesaing utama, Cina, time life-nya cuma 60 hari. "Produktivitas merupakan kunci menghadapi persaingan di pasar dunia pasca-kuota," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat. "Komponen upah dan energi murah tidak bisa lagi diandalkan."

M. Syakur Usman, Danto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus