IKLAN masih ragu-ragu terhadap media cetak. David E. Sparkes,
dari Survey _ Research Indonesia (SRI), membuktikan lewat suatu
penelitian: hanya 25% halaman surat kabar, yang disediakan
untuk iklan, terisi. Perhitungan itu dikemukakannya dalam
seminar sehari Institut Bisnis, Ekonomi, dan Keuangan, Kamis
pekan lalu setelah SRI meneliti 35 surat kabar di Jakarta dan
daerah.
Seperti lazimnya akhir-akhir ini bila orang menemukan kegiatan
bisnis yang menurun, Sparkes menyinggung pula soal resesi
ekonomi sebagai sebab. Tapi ia lebih menekankan pada mahalnya
tarif iklan surat kabar kita sebagai penghambat berkembangnya
halaman promosi ini. Mahal bila dihitung CPT-nya atau
perbandingan (ratio) jumlah biaya iklan dengan banyaknya pembaca
surat kabar. Maka, Sparkes menunjuk iklan poster (bill board)
yang dianggapnya lebih murah jatuhnya.
Dengan kata lain, para pengusaha menganggap iklan poster lebih
efektif, lebih mencapai sasaran. Hal ini dibenarkan oleh Jim
Wiryawan, manajer pemasaran Borsumij Wehry Indonesia. Sejak
iklan TVRI ditutup, Borsumij mengalihkan sebagian anggaran
promosinya ke media iklan poster. "Dan hasilnya, meningkat,"
kata Jim, meski ia tak bisa memberikan bukti. Yang jelas,
"pasang iklan di surat kabar harus pesan tempat dulu, sementara
bisnis jalan terus," tuturnya. "Maka tak ada pilihan lain, ya,
iklan poster itu kami pilih."
Gunadi Soekemi, presiden direktur PT Gerrgid yang khusus
menangani iklan out doors seperti bill board membenarkan bahwa
iklan poster, sejak TVRI tanpa iklan, "meningkat dua kali
lipat." Juga, Muhammad Napis, anggota Dewan Kehormatan Persatuan
Perusahaan. Periklanan Indonesia menyatakan bahwa iklan poster
akhir-akhir ini ramai.
Sementara itu Noor S.A., presiden direktur PT Multi Gada, yang
khusus menangani iklan di media cetak, mencatat bahwa
perusahaannya biasa-biasa saja. Maksudnya tak ada penurunan atau
kenaikan iklan di media cetak. Memang, iklan untuk beberapa
surat kabar tertentu - disebutnya Sinar Harapan, Kompas, dan
Pos Kota - menunjukkan kecenderungan bertambah. "Belum semua
permintaan pemasangan iklan di tiga surat kabar ltu tertampung
semuanya," kata Noor. Tapi kecenderungan itu terpaksa dipotong
karena ruang iklan di media cetak dibatasi maksimum 35%.
Yang menarik, baik Gunadi maupun Noor menyatakan, sebagian besar
iklan datang dari perusahaan yang sudah mapan, yang produknya
sudah populer, misalnya rokok cap Jarum. Boleh dikata tak ada
permintaan pemasangan iklan produk baru, apalagi untuk iklan
poster.
Dengan kata lain, pemasangan iklan akhir-akhir ini sifatnya
lebih sebagai sarana untuk mengingatkan daripada mempromosikan.
Itu sebabnya iklan poster meningkat, sementara iklan surat kabar
atau media cetak umumnya stabil, bila tidak menunjukkan
kecenderungan menurun.
Iklan poster, menurut Sparkes dan Gunadi, "efektif untuk
mengingatkan masyarakat bahwa produknya diiklankan itu masih
ada." Sebab, iklan poster tak cepat-cepat harus menyingkir dari
jalanan, selalu bisa dilihat setiap saat. Dan, dengan gambar
yang menarik, mau tak mau orang yang lewat memang terpaksa
melihat iklan itu, walau sekilas. Dan itu cukup, karena yang
diiklankan adalah produk yang sudah dikenal luas.
Hal seperti itu tak bisa dicapai media cetak, yang sekali dibaca
lantas dibuang atau disimpan dan dilupakan. Selain itu, pembaca
surat kabar dan majalah terbatas jumlahnya, tidak seperti iklan
poster yang memaksa setiap orang yang lewat memandangnya. Iklan
di media cetak cuma efeknf untu mempromosikan produk baru - yang
agaknya memang lagi sepi. Sebab, di media cetak itu iklan bisa
berpanjang-panjang.
Tapi bagaimanapun diakui semua pihak bahwa iklan yang bersifat
audio-visual atau yang cuma audio tetap menang dibanding iklan
visual. Itu sebabnya, ketika iklan hilang dari TVRI, yang
pertama-tama panen ialah radio-radio swasta niaga. Mungkin ini
ada hubungannya dengan sifat masyarakat kita yang masih rendah
minat bacanya. Dan bukankah iklan poster pun lebih menonjolkan
gambar?
Jadi, kemarau iklan bagi media cetak mungkin masih panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini