HINGGA pekan ini belum tampak tanda-tanda perusahaan asuransi
kerugian mau memperpanjang polis asuransi klien mereka yang
sudah jatuh tempo. Beleid kurang populer itu mereka tempuh
mulai 28 Juli, sesudah pengeluaran uang klaim untuk kebakaran di
pelbagai pasar dan pusat perdagangan dirasakan lebih besar
dibandingkan penerimaan premi.
Ketekoran diperkirakan akan melilit Konsorsium Asuransi Kerugian
Khusus, penyedia sebagian besar dana klaim, jika perpanjangan
polis asuransi kebakaran masih saja diteruskan. Pada konsorsium
inilah 55 perusahaan asuransi kerugian sejak 1979 menyetor uang
premi dan memperoleh sebagian besar dana klaim. Melalui
konsorsium ini pula penutupan asuransi dan reasuransi keluar
negeri dilakukan. Tapi sejak 1 Juli silam perusahaan reasuransi
di luar negeri tak mau menutup reasuransi dari konsorsium.
Kebakaran besar beruntun di pelbagai pasar dan pusat
perdagangan dua tahun terakhir ini cukup membuat kecut Lloyd
Insurance, London Toa-Re, Tokyo, dan South East Asia Insurance,
Kuala Lumpur, yang biasanya mau menutup reasuransi konsorsium.
Hingga pekan ini belum tampak tanda-tanda ketiga perusahaan
reasuransi itu mau menutup pertanggungan konsorsium untuk tahun
1983/84 yang nilainya Rp 9,5 milyar lebih. Sementara itu, untuk
tahun fiskal mendatang, konsorsium hanya bisa memikul
pertanggungan Rp 500 juta.
Alasan penolakan reasuransi di luar negeri itu disebabkan klaim
dari konsorsium yang belakangan makin membesar. PT Asuransi Jasa
Indonesia, misalnya, dengan penerimaan premi Rp 386 juta, sampai
September masih harus menyelesaikan klaim sebesar Rp 1,6 milyar.
Sebagian besar dana klaim itu, kata sebuah sumber, harus ditarik
dari reasuransi di luar negeri. Melihat gejala ini, perusahaan
reasuransi "tentu tak mau disuruh jadi sebuah badan sosial,"
ujar Widyastanto, direktur Ramayana Insurance Company Ltd.
Sejak semula, menurut Amir Imam Poero, kepala Biro Direksi
Asuransi Jasa Indonesia, asuransi kerugian khusus (kebakaran)
itu selalu merupakan sektor rugi. Tahun lalu, katanya, dari
premi yang diterima Rp 581 juta, perusahaan harus mengeluarkan
klaim sampai Rp 1.322 juta dan baru Rp 350 juta di antaranya
yang bisa diselesaikan.
Badan usaha milik negara inilah yang antara lain menutup
asuransi kebakaran Pasar Tanah Abang, Blok M, dan Pusat
Perdagangan Senen di Jakarta, Pasar Turi di Surabaya, Mercubuana
di Medan, dan Pasar Baru di Bandung. Klaim terbesar adalah untuk
kebakaran Pasar C Medan, Maret tahun ini, Rp 1,4 milyar yang
belum diselesaikan.
Kendati terancam rugi, Ramayana toh masih getol juga mencari
pemegang polis baru. Tapi sejumlah pemerintah daerah (pemda)
yang didekatinya menolak. Posisi penerimaan perusahaan, menurut
Widyastanto, sesungguhnya bisa diperbaiki dengan menutup
asuransi pasar yang tak mudah terbakar, seperti Pasar Sibolga
dan pasar milik pemda Malang (kecuali Pasar Batu). Ramayana
tentu tak suka menutup asuransi bagi tempat seperti Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, yang terbakar sampai tiga kali pada
1981, dan menyebabkan perusahaan itu harus membayar klaim Rp 232
juta. "Pasar Minggu itu kebakarannya seakan-akan bertahap," kata
Widyastanto.
Entah disengaja atau tidak, setelah konsorsium berdiri pada 1979
banyak kebakaran besar muncul beruntun di pelbagai pasar besar
dan pusat perdagangan di Indonesia. Seorang adjuster (penaksir
nilai kerugian) asing di Jakarta yakin, kebakaran yang banyak
terjadi di kawasan pertokoan adalah "disengaja, atau, dengan
kata lain, "itu merupakan permainan pemilik toko." Dia tak
percaya kebakaran timbul hanya karena kortsluiting listrik.
"Hanya ada satu perkecualian, yaitu kebakaran di Glodok Plaza,
Jakarta. Saya tidak mencurigai Glodok Plaza karena sebagian
besar pemilik toko di sana tidak mengasuransikan harta mereka,"
katanya.
Karena alasan itulah, penaksir asing ini menganjurkan agar
penutupan asuransi pasar dan pertokoan dipersulit. Batas risiko
tanggungan sebesar Rp 25 milyar diminta untuk diperkecil. Dalam
upaya menyehatkan bisnis kedua pihak, dia menyarankan agar
diadakan suatu pertanggungan bersama, yang mewajibkan pemilik
toko menanggung separuh kerugian. Anjuran itu tampaknya beroleh
gema.
Sejumlah perusahaan asuransi kerugian tampak mulai memperberat
persyaratan bagi peserta baru dengan menaikkan tarif premi.
Sebuah perusahaan di Pusat Perdagangan Senen, Jakarta, awal
bulan ini, misalnya, mau juga menerima tarif premi 1% untuk
asuransi kebakaran, pencurian, dan huruhara bagi seluruh
hartanya senilai Rp 1 milyar. Sebelumnya, perusahaan itu hanya
membayar premi 7,5 per mil (0,0075) untuk asuransi kebakaran dan
huru-hara. Karena Pusat Perdagangan Senen dianggap sebagai
pasar, ada tempat orang berdagang makanan di blok III dan IV,
perusahaan ini nyaris sulit mendapatkan perusahaan asuransi yang
mau menanggung risiko atas seluruh hartanya.
Benar tidaknya tempat seperti Pusat Perdagangan Senen seluruhnya
dianggap sebagai pasar tentu bisa diperdebatkan. Bagaimana
persisnya tempat yang bisa digolongkan sebagai pasar, menurut
Rudi Wanandi, direktur utama PT Asuransi Wahana Tata, tak begitu
jelas kriterianya. Dia mengambil contoh pengusaha toko di
Aldiron Plaza, Kebayoran Baru, pernah protes ketika tempat
mereka dikategorikan sebagai pasar. Kategori pasar dikenakan
karena tempat itu, katanya, berdempetan dengan Pasar Blok M.
Rudi sendiri berpendapat, pusat perdagangan seperti itu dan juga
Harco di Jakarta, "pengelolaannya masih lebih baik dibandingkan
dengan pasar makanan."
Tapi sudah jadi rahasia umum, memang, banyak pasar atau pusat
perdagangan, yang megah sekalipun, sering tidak dikelola dengan
baik. Di tempat usaha seperti itu, baik aliran air maupun
listrik kerap kurang dipelihara. Tak heran jika ada setiap
kebakaran soal korstliting listrik masih sering dituduh
sebagai biang gara-gara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini