Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasar, siapa mau tanggung?

Karena sering terjadi kebakaran, perusahaan asuransi menolak untuk menanggung pasar. sejak 1 juli 83 perusahaan reasuransi di LN tak mau menutup reasuransi dari konsorsium, karena klaim makin membesar.

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA pekan ini belum tampak tanda-tanda perusahaan asuransi kerugian mau memperpanjang polis asuransi klien mereka yang sudah jatuh tempo. Beleid kurang populer itu mereka tempuh mulai 28 Juli, sesudah pengeluaran uang klaim untuk kebakaran di pelbagai pasar dan pusat perdagangan dirasakan lebih besar dibandingkan penerimaan premi. Ketekoran diperkirakan akan melilit Konsorsium Asuransi Kerugian Khusus, penyedia sebagian besar dana klaim, jika perpanjangan polis asuransi kebakaran masih saja diteruskan. Pada konsorsium inilah 55 perusahaan asuransi kerugian sejak 1979 menyetor uang premi dan memperoleh sebagian besar dana klaim. Melalui konsorsium ini pula penutupan asuransi dan reasuransi keluar negeri dilakukan. Tapi sejak 1 Juli silam perusahaan reasuransi di luar negeri tak mau menutup reasuransi dari konsorsium. Kebakaran besar beruntun di pelbagai pasar dan pusat perdagangan dua tahun terakhir ini cukup membuat kecut Lloyd Insurance, London Toa-Re, Tokyo, dan South East Asia Insurance, Kuala Lumpur, yang biasanya mau menutup reasuransi konsorsium. Hingga pekan ini belum tampak tanda-tanda ketiga perusahaan reasuransi itu mau menutup pertanggungan konsorsium untuk tahun 1983/84 yang nilainya Rp 9,5 milyar lebih. Sementara itu, untuk tahun fiskal mendatang, konsorsium hanya bisa memikul pertanggungan Rp 500 juta. Alasan penolakan reasuransi di luar negeri itu disebabkan klaim dari konsorsium yang belakangan makin membesar. PT Asuransi Jasa Indonesia, misalnya, dengan penerimaan premi Rp 386 juta, sampai September masih harus menyelesaikan klaim sebesar Rp 1,6 milyar. Sebagian besar dana klaim itu, kata sebuah sumber, harus ditarik dari reasuransi di luar negeri. Melihat gejala ini, perusahaan reasuransi "tentu tak mau disuruh jadi sebuah badan sosial," ujar Widyastanto, direktur Ramayana Insurance Company Ltd. Sejak semula, menurut Amir Imam Poero, kepala Biro Direksi Asuransi Jasa Indonesia, asuransi kerugian khusus (kebakaran) itu selalu merupakan sektor rugi. Tahun lalu, katanya, dari premi yang diterima Rp 581 juta, perusahaan harus mengeluarkan klaim sampai Rp 1.322 juta dan baru Rp 350 juta di antaranya yang bisa diselesaikan. Badan usaha milik negara inilah yang antara lain menutup asuransi kebakaran Pasar Tanah Abang, Blok M, dan Pusat Perdagangan Senen di Jakarta, Pasar Turi di Surabaya, Mercubuana di Medan, dan Pasar Baru di Bandung. Klaim terbesar adalah untuk kebakaran Pasar C Medan, Maret tahun ini, Rp 1,4 milyar yang belum diselesaikan. Kendati terancam rugi, Ramayana toh masih getol juga mencari pemegang polis baru. Tapi sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang didekatinya menolak. Posisi penerimaan perusahaan, menurut Widyastanto, sesungguhnya bisa diperbaiki dengan menutup asuransi pasar yang tak mudah terbakar, seperti Pasar Sibolga dan pasar milik pemda Malang (kecuali Pasar Batu). Ramayana tentu tak suka menutup asuransi bagi tempat seperti Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang terbakar sampai tiga kali pada 1981, dan menyebabkan perusahaan itu harus membayar klaim Rp 232 juta. "Pasar Minggu itu kebakarannya seakan-akan bertahap," kata Widyastanto. Entah disengaja atau tidak, setelah konsorsium berdiri pada 1979 banyak kebakaran besar muncul beruntun di pelbagai pasar besar dan pusat perdagangan di Indonesia. Seorang adjuster (penaksir nilai kerugian) asing di Jakarta yakin, kebakaran yang banyak terjadi di kawasan pertokoan adalah "disengaja, atau, dengan kata lain, "itu merupakan permainan pemilik toko." Dia tak percaya kebakaran timbul hanya karena kortsluiting listrik. "Hanya ada satu perkecualian, yaitu kebakaran di Glodok Plaza, Jakarta. Saya tidak mencurigai Glodok Plaza karena sebagian besar pemilik toko di sana tidak mengasuransikan harta mereka," katanya. Karena alasan itulah, penaksir asing ini menganjurkan agar penutupan asuransi pasar dan pertokoan dipersulit. Batas risiko tanggungan sebesar Rp 25 milyar diminta untuk diperkecil. Dalam upaya menyehatkan bisnis kedua pihak, dia menyarankan agar diadakan suatu pertanggungan bersama, yang mewajibkan pemilik toko menanggung separuh kerugian. Anjuran itu tampaknya beroleh gema. Sejumlah perusahaan asuransi kerugian tampak mulai memperberat persyaratan bagi peserta baru dengan menaikkan tarif premi. Sebuah perusahaan di Pusat Perdagangan Senen, Jakarta, awal bulan ini, misalnya, mau juga menerima tarif premi 1% untuk asuransi kebakaran, pencurian, dan huruhara bagi seluruh hartanya senilai Rp 1 milyar. Sebelumnya, perusahaan itu hanya membayar premi 7,5 per mil (0,0075) untuk asuransi kebakaran dan huru-hara. Karena Pusat Perdagangan Senen dianggap sebagai pasar, ada tempat orang berdagang makanan di blok III dan IV, perusahaan ini nyaris sulit mendapatkan perusahaan asuransi yang mau menanggung risiko atas seluruh hartanya. Benar tidaknya tempat seperti Pusat Perdagangan Senen seluruhnya dianggap sebagai pasar tentu bisa diperdebatkan. Bagaimana persisnya tempat yang bisa digolongkan sebagai pasar, menurut Rudi Wanandi, direktur utama PT Asuransi Wahana Tata, tak begitu jelas kriterianya. Dia mengambil contoh pengusaha toko di Aldiron Plaza, Kebayoran Baru, pernah protes ketika tempat mereka dikategorikan sebagai pasar. Kategori pasar dikenakan karena tempat itu, katanya, berdempetan dengan Pasar Blok M. Rudi sendiri berpendapat, pusat perdagangan seperti itu dan juga Harco di Jakarta, "pengelolaannya masih lebih baik dibandingkan dengan pasar makanan." Tapi sudah jadi rahasia umum, memang, banyak pasar atau pusat perdagangan, yang megah sekalipun, sering tidak dikelola dengan baik. Di tempat usaha seperti itu, baik aliran air maupun listrik kerap kurang dipelihara. Tak heran jika ada setiap kebakaran soal korstliting listrik masih sering dituduh sebagai biang gara-gara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus