DIREKTUR Utama Bank Niaga, Idham, kabarnya sedang menunggu
berita penting dari kantor menteri keuangan. Sebuah surat
keputusan mengenai pengesahan merjer (penggabungan usaha) Bank
Niaga dengan Bank Amerta sedang ditunggunya hari-hari ini. Untuk
memuluskan usaha itu, dewan komisaris dan direksi kedua bank
itu, 18 Agustus, membuat pengumuman bersama di koran yang
memberitahukan bahwa marjer akan dilakukan 26 September.
Tapi merjer itu, yang menyangkut pengalihan secara formal semua
cabang, harta kekayaan, hak, dan kewajiban Bank Amerta agaknya
bakal menemui sedikit kesulitan. Pihak pemegang saham Bank
Amerta lama yang diwakili K.P.H.N. Hoedhiono Kadarisman,
diam-diam sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Ketua Mahkamah Agung Mudjono bahkan sudah meminta, 30
September, agar pengadilan segera menyidangkan kasus itu.
"Merjer tidak kami kehendaki karena itu berarti akan melenyapkan
nama Bank Amerta dari peredaran," ujar Hoedhiono.
Dia terus terang mengaku tidak puas terhadap cara Bank Indonesia
menangani merjer itu. Sebab, otoritas moneter ini, ketika
"membeli" 40 ribu lembar saham Bank Amerta 30 September 1976,
katanya, pernah berjanji akan memberi kesempatan pemegang saham
lama untuk membeli kembali saham itu. "Pembelian" itu terpaksa
dilakukan sesudah bank pribumi yang didirikan 1951 di Yogyakarta
itu dianggap tak mampu lagi memenuhi kewajibannya, antara lain
mengembalikan pinjaman likuiditas BI.
Pada mulanya memang, menurut sebuah sumber di Perhimpunan
Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas), suntikan likuiditas BI
secara berangsur-angsur justru dilakukan untuk menolong bank
yang sudah megap-megap itu. Pada awal tahun 70-an, otoritas
moneter tadi juga berusaha menolong Bank Agung, Surakarta,
dengan suntikan dana serupa.
Baru Bank Industri dan Dagang Indonesia, Bank Kemakmuran, dan
Bank Industri Djaja Indonesia yang tahun 1971 memenuhi anjuran
merjer BI dengan membentuk Panin Bank. Setahun berikutnya masuk
pula ke dalam kelompok ini Bank Abadi Jaya, Lingga Harta,
Pembangunan Ekonomi, dan Pembangunan Sulawesi. Dengan inisiatif
BI, pada 1973 Bank Agung yang nyaris bangkrut itu digabungkan
dengan Bank Niaga.
Sukses Bank Niagamengatasi persoalan Bank Agung itu rupanya
cukup berkenan di hati BI. Kepada Bank ini pula, bank sentral
tadi akhirnya, 1976, mempercayakan pengelolaan Bank Amerta.
Banyak kesulitan tentu harus dihadapi Idham untuk mengelola
Amerta, yang punya cabang di delapan kota di Jawa, sebelum
akhirnya bank republiken itu per Juni 1982 bisa meraih laba
kotor hampir Rp 400 juta. Kekayaannya ketika itu mencapai hampir
Rp 23 milyar, dengan jumlah kredit yang diberikan hampir Rp 19
milyar.
Ada yang bilan Idham itu punya "tangan dingin". Tapi yang
agaknya pastl, keberanian bankir itu mengoper Bank Amerta ketika
itu cukup mengejutkan kalangan Perbanas. Maklum, bank itu, yang
menanggung banyak utang macet dan pegawai, kegiatannya terpusat
di daerah yang sama. Artinya, jika di Yogya ada Bank Niaga maka
di situ ada pula Bank Amerta. "Jadi, buat apa Bank Niaga mau
mengoper Bank Amerta?" kata seorang pengurus Perbanas.
Direktur Utama Idham belum mau bicara banyak. Mungkin karena
ingin menunggu keputusan akhir dari kantor Menteri Keuangan
Radius Prawiro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini