Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengklaim kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) tak akan berdampak signifikan kepada industri. Harga insentif gas pemerintah ini dikabarkan naik dari US$ 6 per MMBTU menjadi US$ 6,5. “Kalau kajiannya (soal dampak kenaikan HGBT kepada industri) di Kemenperin belum ada, tapi bagi industri yang penting stabilitas pasokan dan stabilitas harga. Kalau harga naik sedikit, sebenarnya tidak terlalu signifikan pengaruhnya,” ujar Febri dalam jumpa pers di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Febri mencontohkan, variabel yang berpengaruh bagi industri misalnya pemberlakuan surcharge kepada tujuh sektor industri penerima HGBT. Dengan adanya biaya tambahan ini, harga gas pada jam tertentu sebesar US$ 6 per MMBTU, tapi di waktu lain bisa melonjak menjadi US$ 8–12 per MMBTU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Febri, pengenaan surcharge itu sangat menganggu industri. Sedangkan kenaikan harga gas sebesar US$ 0,5 per MMBTU, selama pasokan lancar, itu sudah cukup bagi industri.
Pemerintah sampai saat ini menetapkan tujuh sektor industri penerima HGBT, yaitu keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Sektor lain yang tak tergolong penerima insentif HGBT harus menebus gas dengan harga komersial, yakni di atas US$ 10 per MMBTU.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengungkaplan kebijakan HGBT berpeluanh naik. Alasannya, harga gas dunia kini juga sedang melambung. Sementara HGBT untuk bahan baku masoh lebih rendah dari harga gas untuk kebutuhan energi.
Bahlil memperkirakan gas untuk energi harganya kurang lebih US$ 7 per MMBTU. Sementara gas yang dipergunakan untuk bahan baku sekitar US$ 6,5 per MMBTU. Ia memastikan sektor-sektor industri yang menerima harga gas murah sudah final.