HAMPIR lima tahun terakhir ini, harga nikel di pasar internasional belum pernah membaik. Pertengahan Agustus lalu, harganya tinggal US$ 2,24 per pon (0,45 kg), atau turun sekitar 26% dibandingkan tingkat harga 1980. Bagi PT Inco (International Nickel Indonesia), memburuknya harga bahan galian ini hanya sedikit memperbaiki pendapatan perusahaan di tengah kenaikan hebat produksinya. "Harganya terlalu rendah untuk bisa untung," ujar Hitler Singawinata, wakil presiden Inco. Titik impas baru bisa diperoleh jika harga nikel itu US$ 2,8. Karena itu, tak heran, sejak mulai berproduksi, penghasil nikel pekatan (nickel mattes) terbesar di sini itu merugi terus. Dengan menggenjot produksi, tahun lalu, kerugian bisa ditekan jadi USS 37,4 juta - turun lumayan dibandingkan kerugian 1980 yang mencapai US$ 61 juta. Untuk memperkecil kerugian, manajemen berusaha menekan biaya produksi sampai 20% tahun ini. "Kalau harga tak bisa naik (sampai sekitar 1990-an), dan produksi sudah ditentukan jumlahnya, maka ongkoslah yang harus ditekan," ujar Hitler. Peralatan dan kendaraan, yang menurut standar semula sudah harus diremajakan berdasarkan jam kerjanya, kini ditangguhkan semua asal bisa dipakai. Kenikmatan pegawai juga dikurangi: dana rekreasi dan olah raga dihapuskan. Perjalanan dinas dengan pesawat perusahaan dibatasi. Dan apa boleh buat, pengurangan pegawai, yang sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu terpaksa dilanjutkan hingga kini. Tahun ini, 40 dari 80 tenaga asing dipulangkan ke negerinya. Sejumlah 140 pekerja dirumahkan, 50 mundur sukarela, 67 dipercepat pensiunnya, dan 44 pensiun tulen. Dengan demikian, jumlah karyawan di situ tinggal 3.000, padahal di masa harga nikel baik (US$ 3,02 per pon) Inco mempekerjakan hampir 3.900 karyawan. "Semua industri nikel saat ini sedang sakit," ujar Hitler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini