PULAU Bangka memang belum sepi dari gemertak gancu-gancu para penambang timah. Tapi, sejumlah 500 buruh dari PT Koba Tin, pada semester lalu, terpaksa angkat kaki meninggalkan 2.000 rekannya yang masih bertahan. "Kami harus melepaskan mereka karena permintaan timah dunia merosot terus," ujar Julien de B. Noakes, presiden direktur perusahaan produsen timah ekspor yang membuka ladangnya sejak tahun 1973. Pada masa puncaknya, 1981, perusahaan yang berladang di pulau terbesar penghasil timah Indonesia itu berhasil mengekspor hampir 7.000 ton balok timah dengan harga œ 9.000 lebih per ton (FOB). Dan, pada tahun-tahun berikutnya, angka itu ternyata tidak bisa dicapai lagi. Bahkan, tahun lalu, perusaaan itu hanya mampu mengekspor 4.000-an ton dengan harga tertinggi œ 7 ribu. Dan nasib para penambang pun masih belum pasti meski permintaan timah dunia meningkat. "Besarnya sisa produksi tahun-tahun lalu di dunia membuat kami harus terus meningkatkan kontrol terhadap biaya produksi dan efisiensi kerja," ujar pimpinan perusahaan patungan antara PT Timah dan Kajuare Mining Corp. (Australia) itu. Menurut laporan Shearson Lehman & Brothers, lembaga keuangan bukan bank terkemuka di Amerika Serikat, yang diterbitkan bulan lalu, permintaan timah dunia akan mencapai 169 juta ton dari 164,5 juta ton tahun lalu. Tetapi, sisa produksi di dunia yang masih bertumpuk di gudang-gudang sudah mencapai 98,9 juta ton. "Belum lagi, karena kemajuan teknologi, kami harus berhadapan dengan aluminium yang mulai banyak menggeser timah - terutama di industri pengalengan," ujar Noakes. Tetapi, anehnya, permintaan dalam negeri melonjak keras. Menurut lampiran pidato kenegaraan Presiden, pekan lalu, pada periode 1984/1985 kebutuhan timah dalam negeri mencapai 1 641.700 ton, dari 406,1 ribu ton pada periode sebelumnya. Sementara itu, yang diekspor secara keseluruhan turun menjadi 21,6 ribu ton, dari 25 ribu ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini