PENGETATAN anggaran pemerintah telak mengena ulu hati perusahaan rekayasa PT Gruno Nasional. Menurut direktur produksinya, W.L.U. Pondaag, Gruno sudah terjerumus dalam bisnis merugi sejak dua tahun lalu. Perusahaan sudah tak mampu membayar gaji karyawannya sehingga, Juli lalu, terpaksa merumahkan 85% dari 231 karyawan tetapnya. Gaji mereka masih dibayar separuh, selebihnya diutang perusahaan. Sambil geleng-geleng kepala, Pondaag bercerita. Perusahaan nasional pribumi bekas milik Belanda (1921-1956) itu melakukan investasi besar-besaran, 1981, karena diperkirakan pertumbuhan pesat pada industri mesin. Selain menghemat impor barang modal, perkembangan industri menghasilkan proyek padat karya. Proyek Gruno, misalnya, pembuat pabrik gula, pabrik semen, pabrik minyak goreng, bisa menyerap 500 buruh. Ternyata, setelah Gruno melakukan investasi besar-besaran, terjadi pengambangan kurs rupiah, sehingga bunga pinjaman dalam valuta asing naik. Material yang diproduksi dalam negeri ikut naik. Ada kewajiban pula membeli bahan baku dari PT Krakatau Steel, yang ternyata lebih mahal. Kemudian liberalisasi perbankan, yang akibatnya memahalkan harga uang. Sehingga konsumen produk Gruno, yang biasa membeli dengan kredit bank, terpaksa menangguhkan pembelian. Semua itu menaikkan biaya produksi Gruno dari Rp 200 per kg menjadi Rp 500 per kg. Untuk merangsang pembeli, harga penjualan telah diturunkan dari Rp 2.000 menjadi Rp 1.000 per kg, dengan harapan pesanan akan meningkat empat kali lipat. Ternyata, pesanan tetap tak berkembang dalam dua tahun terakhir - tetap sekitar 75 ton per bulan - sedangkan kapasitas telah dilipatgandakan menjadi 300 ton per bulan. Sudah begitu, untuk menagih pembayaran, perusahaan harus memakai 50 karyawan. "Untuk menghadapi birokrasi," tutur Pondaag. Tagihan, menurut presiden direktur Gruno, Denny Pondaag, bisa sembilan bulan. Sedang kredit bank juga baru bisa keluar enam bulan setelah proyek berjalan, hingga perusahaan mengambil pinjaman berbunga tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini