COLD Storage (gudang pendingin) PT Indra Deli yang terletak di
Jalan Sungai Deli, Medan, kelihatan sepi-sepi saja. Tak
kedengaran deru mesin dari dalam. Rel lori yang membentang di
halaman untuk menghubungkan unit yang satu dengan yang lain
tampak mulai karatan. Hanya ada dua truk yang parkir di halaman
itu.
Suasana sepi seperti itu juga menghantam seluruh perusahaan cold
sorage di Sumatera Utara dan berpusat di Medan, seperti PT Amal
Wahana, Sari Tirta, Red Ribbon, Juta Jelita dan Surya Sakti.
"Perusahaan itu sudah tidak melakukan kegiatan ekspor udang
lagi, kecuali Amal Wahana dan Timur Jaya yang berpusat di Kota
Tanjungbalai," kata sebuah sumber di Kanwil Departemen
Perdagangan Provinsi Sum-Ut di Medan.
Lesunya bisnis cold storage itu berpangkal pada larangan
beroperasinya pukat harimau sejak 1 Januari 1981. Ketika pukat
harimau masih diperbolehkan beroperasi, ekspor udang dari daerah
tersebut mencapai 70 ton per hari. Tapi sekarang turun drastis.
"Sekarang sebuah cold storage sudah bisa disebut untung kalau
dia bisa mengolah 1 ton udang saban hari," kata seorang
pengusaha. Merosotnya suplai udang ini disebabkan belum mampunya
nelayan tradisional menyamai hasil tangkapan pukat harimau yang
mereka gantiklan.
Merosotnya hasil penangkapan udang pada tiga bulan pertama
setelah keluarnya larangan pukat harimau itu dianggap sebagai
masa transisi oleh para pengusaha. Tapi ketika masa peralihan
terlampaui dan hasil udang tidak naik juga, mereka mulai
mengkritik aparat pemerintah agak lamban dalam menangani
peningkatan sarana dan ketrampilan nelayan tradisional itu.
Kritik itu bisa dimaklumi. PT Indra Deli misalnya pada awal
Keppres 39/80 itu dilaksanakan tidak khawatir karena dia
menganggap stoknya cukup untuk 6 bulan mendatang. Harapannya
sesudah masa itu suplai udang akan datang dari nelayan
tradisional. Tetapi ternyata perkiraannya itu meleset. "Kalau
dulu sebelum larangan pukat harimau produksi kami 10 sampai 15
ton, sekarang cuma bisa mencapai sekitar 5 ton per hari," kata
Kuasa Direksi PT Indra Deli, Kabar Sembiring Kembaren.
PT Central Java Marine Products milik Haji Sulchan dan Sumitomo
(Jepang) juga mengalami hal yang sama. "Memang produksi kami
belum pulih seperti ketika belum ada larangan pukat harimau,"
kata Haji M. Jusid Ghazali SH salah seorang direktur dari
perusahaan patungan itu. Perusahaan yang pernah mengancam akan
tutup kalau pukat harimau dilarang, ternyata punya daerah
pensuplai yang cukup kuat, yaitu dari daerah selatan Pulau Jawa.
Tetapi perusahaan itu akan menghadapi kesulitan baru: pukat
harimau yang beroperasi di daerah tak terlarang itu hanya
diperkenankan membawa udang ke Semarang sampai akhir tahun ini.
Tidak diketahui langkah apa yang akan diambil Haji Sulchan.
Masih ada keluhan lain. Selain suplai udang dari nelayan
tradisional yang masih kurang, perusahaan itu tetap digenjot
dengan ketentuan-ketentuan perpajakan vang sama seperti pada
masa jayanya pukat harimau. "Banyak sekali pajak yang harus kami
pikul. Di antaranya pajak ekspor, MP0, PPN," ucap Kabar
Sembiring Kembaren.
Ia tidak memperinci jumlah pajak yang harus dibayar. "Tapi yang
terang akibat persoalan suplai yang kurang dan beban pajak itu
terpaksa kami mengurangi tenaga buruh secara besar-besaran. Dari
2.500 orang, yang bekerja sekarang hanya tinggal 500 orang." Di
seluruh Sum-Ut saat ini diperkirakan terdapat sekitar 5.000
buruh cald storage.
Sebuah sumber harian Kompas di Asosiasi Pengusaha Cold Storage
Indonesia cabang Sum-Ut menyebutkan total pajak dan pungutan
untuk 50 ton udang mencapai Rp 20 juta rupiah. Semula para
pengusaha hendak membebankan berbagai pajak dan pungutan itu
kepada nelayan dengan menurunkan harga pembelian. Tetapi karena
dikhawatirkan nelayan akan melempar udang tangkapannya ke tempat
lain, akhirnya pengusaha cold storage yang menanggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini