Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemanfaatan B30 mengurangi emisi gas rumah kaca setara dengan 27,8 juta ton CO2.
Peningkatan konsumsi biodiesel menimbulkan kekhawatiran soal persaingan antara pemenuhan kebutuhan energi dan pangan.
Pemerintah perlu mengatur alokasi pemanfaatan kelapa sawit.
JAKARTA - Pemerintah menggenjot pemanfaatan bahan bakar nabati dengan biodiesel sebagai tumpuan. Rencana ini menimbulkan kekhawatiran soal persaingan antara pemenuhan kebutuhan energi dan pangan.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah menargetkan alokasi biodiesel sebanyak 13,15 kiloliter pada 2023. Jumlahnya bakal naik hingga 13,9 juta kiloliter pada 2025. Per 12 Desember lalu, pemerintah sudah menyalurkan 11,34 juta kiloliter biodiesel (65 persen solar dan 35 persen minyak kelapa sawit) untuk kebutuhan domestik dan 144 ribu kiloliter untuk ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, pada tahun depan, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menyatakan kuota biodiesel bakal mencapai 13,4 juta kiloliter. “Tapi ini masih menunggu persetujuan untuk pendanaan,” kata dia di Jakarta, Kamis, 14 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dadan, fokus pemerintah masih pada biodiesel dengan campuran 35 persen minyak kelapa sawit alias B35. Pemerintah berencana meningkatkan kadar minyak sawit menjadi 40 persen, tapi persiapannya belum rampung. “Kami masih memastikan dari sisi produksi dan kecukupan anggaran.”
Pekerja memindahkan tandan buah segar kelapa sawit di salah satu perkebunan sawit di Kota Bengkulu, Bengkulu, 21 November 2023. ANTARA/Muhammad Izfaldi
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menuturkan pengembangan biodiesel penting untuk mewujudkan berbagai program pemerintah. Salah satunya adalah pencapaian bauran energi terbarukan. B30 berkontribusi sebanyak 35 persen dari capaian bauran energi terbarukan sebesar 12,3 persen pada 2022.
Pada periode tersebut, pemanfaatan B30 mengurangi emisi gas rumah kaca setara dengan 27,8 juta ton CO2. Pemerintah juga berhasil menghemat devisa senilai US$ 8,34 miliar atau setara dengan Rp 22,65 triliun.
Jika pada tahun ini kuota 13,15 juta kiloliter terserap, Indonesia bisa mengurangi emisi gas rumah kaca setara dengan 34,9 juta ton CO2. Dari sisi devisa, bakal ada penghematan sebesar US$ 10,75 miliar atau setara dengan Rp 161,25 triliun.
Sulit Menambah Pasokan Biodiesel
Pengembangan biodiesel menghadapi kendala kepastian bahan baku. Edi menyadari bahwa pemanfaatan bahan bakar nabati masih bergantung pada kelapa sawit. Sementara itu, komoditas tersebut juga merupakan bahan baku untuk industri lain, salah satunya pangan.
Edi mencatat pemanfaatan kelapa sawit terbesar adalah untuk ekspor. Sebanyak 70 persen dari produksi kelapa sawit yang mencapai kisaran 50 juta ton per tahun diolah untuk dijual ke luar negeri. Sementara itu, sektor pangan membutuhkan 20 persen, bahan bakar nabati 16-20 persen, dan sisanya untuk kebutuhan industri.
Pekerja mengisi minyak sawit mentah (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Dengan kenaikan target penyerapan biodiesel, pemerintah perlu menambah produksi sawit. Menurut Edi, di tengah moratorium pembukaan kebun sawit baru, upaya peremajaan pohon bisa menjadi solusi. Selain itu, pemerintah aktif melakukan penelitian untuk mencari alternatif bahan baku biodiesel.
“Di hulu bukan kewenangan kami, tapi kami akan ikut Kementerian Pertanian dan Kementerian LHK untuk mencari tanaman apa yang cocok untuk mendukung bahan bakar nabati ke depan,” ujar Edi. Dia mengimbuhkan, pemerintah juga perlu duduk bersama untuk menyusun aturan soal pemanfaatan sawit. “Alokasi sekian persen untuk pangan dan sekian persen untuk bahan bakar perlu diatur.”
Tantangan lain adalah harga. Pemerintah hingga saat ini masih memberi insentif untuk memastikan harga jual biodiesel bisa bersaing dengan solar. Pemerintah menutup selisih di antara harga indeks pasar kedua jenis bahan bakar tersebut. Dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
DIrektur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengingatkan pemerintah untuk mulai mengantisipasi kompetisi antara kebutuhan pangan dan energi di masa mendatang. Pasalnya, saat ini belum ada pengaturan alokasi sawit di dalam negeri. “Ketika investasi buat energi lebih menguntungkan, bisa saja untuk pangan tidak dilirik,” ujarnya. Dia berkaca pada pengalaman kelangkaan minyak goreng.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo