Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang pekan lalu, Johan berupaya benar menahan diri. Dengan cermat pria paruh baya yang menjadi eksekutif di salah satu perusahaan di kawasan bisnis utama Jakarta ini mengamati pergerakan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang terus ambrol. "Saya tunggu sampai dasar, baru beli. Kadang tak sabar juga, tapi saya tahan, karena yakin pelemahan ini masih akan berlanjut," katanya saat ditemui di sebuah gerai kopi di Plaza Indonesia, Selasa pekan lalu.
Dugaan Johan benar. Setelah sehari sebelumnya ditutup melemah 50 poin ke level Rp 890 per lembar, Selasa itu harga saham BUMI kembali melorot jadi Rp 760. Hari berikutnya, harganya jatuh lagi ke angka Rp 670, dan masih berlanjut sampai Rp 630 pada penutupan perdagangan Kamis.
"Sebenarnya sangat menyedihkan, ketika BUMI begitu transparan, justru dipakai untuk spekulasi yang macam-macam," kata Presiden Direktur BUMI Ari ÂSaptari Hudaya melalui pesan pendek kepada Tempo. "Sudah jelas operasional BUMI makin kuat dan efisien. Rugi buku yang kami laporkan tidak berpengaruh pada cash flow."
Ari merujuk pada pengumuman kerugian yang dicatatkan oleh perusahaannya pada semester pertama tahun ini sebesar US$ 322 juta. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu mereka masih mencetak laba US$ 232 juta.
Perusahaan andalan Grup Bakrie ini mengaku menanggung rugi akibat transaksi derivatif US$ 145,83 juta, akibat kejatuhan harga saham dan kemerosotan nilai opsi prepayment pinjamannya ke China Investment Corp (CIC) US$ 1,3 miliar. Jauh berbeda dengan catatan periode sama tahun sebelumnya, yang membukukan laba dari pos ini hingga US$ 212,27 juta. Kerugian makin bengkak akibat pelemahan nilai tukar rupiah, yang membuat mereka tekor US$ 50,28 juta. Bandingkan dengan catatan di pos ini pada semester yang sama pada 2011, yang berjumlah US$ 80,94 juta.
Para pelaku pasar dan analis semakin tak percaya pada kinerja BUMI karena perusahaan ini juga gagal mencairkan investasi mereka di PT Recapital Asset Management sebesar US$ 231 juta. Padahal rencananya duit itu akan mereka pakai untuk membayar utang ke CIC tahap kedua, Oktober nanti, US$ 600 juta. "Ini memperlihatkan betapa buruknya solvabilitas BUMI dalam membayar utang-utangnya," Fajar Indra dari Panin Sekuritas menuliskan analisisnya.
Fajar memperlihatkan hitung-hitungannya, yang diakhiri dengan kesimpulan bahwa BUMI saat ini berada dalam zona tak aman alias menuju ambang kebangkrutan finansial. Analisis Fajar inilah yang sepanjang pekan lalu banyak beredar dan meramaikan spekulasi di lantai bursa.
Longsornya harga saham Bumi juga menyeret induknya, yakni Bumi Plc, yang tercatat di London Stock Exchange, yang harga sahamnya ikut terpangkas 4,9 persen ke harga 335,10 sen pound sterling per lembar. Hal serupa terjadi pada saham-saham Grup Bakrie, misalnya Bumi Resources Mineral yang terkoreksi 17 persen, VIVA terpangkas 14 persen, juga Bakrie Telecom, yang sempat turun 9 persen.
Ambruknya harga saham grup ini memperparah sentimen negatif di lantai bursa, yang memang sudah payah karena lesunya perdagangan di bursa lain di Asia, Eropa, dan Amerika. Meski begitu, kekuatan Bakrie di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah jauh berkurang dibandingkan dengan empat tahun lalu, saat BUMI juga diguncang prahara akibat kesulitan bayar utang.
Total kapitalisasi pasar Grup Bakrie pada Rabu pekan lalu mencapai Rp 52,77 triliun. Jumlah itu hanya 1,35 persen dari total kapitalisasi pasar BEI senilai Rp 3.880 triliun. Pada 2008, perusahaan-perusahaan Bakrie masih jauh lebih perkasa dan pernah menguasai 30-40 persen kapitalisasi pasar bursa di Jakarta.
Dari jumlah itu, BUMI menyumbang penyusutan terbesar, yakni hampir 70 persen dibanding nilai di awal tahun ini. Pada Januari lalu, saham perusahaan ini berhasil menyentuh harga tertinggi di angka Rp 2.600 per lembar, dengan kapitalisasi Rp 31,26 triliun. Angka itu menciut jauh tinggal Rp 13,92 triliun pada pekan lalu. Tampaknya Ari Hudaya gagal meyakinkan pasar tentang kukuhnya pijakan BUMI.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo