Kesepakatan itu akhirnya tercapai melalui pertemuan dua jam di kantor Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jumat sore pekan lalu. Rombongan Bank Indonesia dipimpin Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Muliaman D. Hadad. Sedangkan dari pemerintah hadir Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution bersama Direktur Asuransi Firdaus Djaelani.
Rapat itu menyepakati perincian pembagian tugas dan tanggung jawab kedua lembaga tersebut seandainya ada bank yang terancam bangkrut, agar carut-marutnya penyaluran bantuan likuiditas Bank Indonesia tak terulang.
Nota kesepakatannya akan ditandatangani Rabu pekan ini, molor dua pekan dari yang ditargetkan pemerintah dan DPR. Isinya secara prinsip tetap sama dengan yang berlaku selama ini: pemerintah yang harus menanggung semua biaya krisis perbankan.
Namun, karena tidak setiap saat tersedia uang kontan di kantong Departemen Keuangan, bank sentral yang akan menalangi setiap kali ada bank yang kelabakan karena brankasnya menciut.
Sebagai gantinya, lembaga yang bermarkas di Lapangan Banteng itu akan memberikan surat utang atau obligasi—senilai jumlah dana talangan—kepada bank sentral.
Berbeda dengan yang sudah-sudah—seperti halnya surat utang senilai Rp 144,5 triliun yang diterbitkan untuk BLBI—sekarang Bank Indonesia menghendaki agar obligasi itu boleh diperdagangkan.
"Kami ingin obligasinya biasa, seperti yang diterbitkan pemerintah setiap kali butuh dana, yakni bisa diperjualbelikan di pasar sekunder," kata Muliaman.
Direktur Pengendalian Moneter BI, Budi Mulya, menambahkan bahwa obligasi tersebut perlu bisa diperdagangkan karena pihaknya membutuhkan instrumen baru untuk membantu mengatur peredaran uang.
Maklum, jika menggunakan sertifikat Bank Indonesia (SBI)—yang selama ini dipakai untuk menyedot uang di masyarakat—Bank Indonesia harus membayar bunga sekitar Rp 12,8 triliun per tahun. Angka ini berasal dari jumlah SBI yang kini mencapai Rp 160 triliun dengan bunga 8 persen per tahun.
Sebaliknya, kalau boleh dilempar bank sentral ke pasar, obligasi itu sekaligus akan bisa berfungsi sebagai alat untuk mengatur peredaran uang. Dan yang terpenting, mereka tak perlu pusing dengan bunganya, karena pemerintahlah yang akan membayar.
Dalam soal ini, Departemen Keuangan tak keberatan. Tapi pemerintah tak mau bank sentral terlalu enteng menyalurkan uang, yang akhirnya akan jadi beban anggaran negara. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum keputusan keran bantuan dibuka. "Tidak semua bank yang mau bangkrut ditolong," kata Darmin. Hanya bank yang masih mungkin disehatkan yang akan diselamatkan.
Syarat lain, bank tersebut memiliki efek sistemik. Maksudnya, jika tak ditolong, bank lain akan terseret sehingga krisis malah makin luas. "Tentu kita tak ingin membuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional lagi. Karena ongkosnya akan jauh lebih mahal," kata Darmin.
Namun ternyata mereka yang ada di pasar punya pandangan sendiri. Hindarmoyo Hinuri, Direktur Utama Bursa Efek Surabaya (tempat surat utang negara diperdagangkan), malah khawatir rencana itu akan merusak pasar. Sebab, sekitar 30 persen dari Rp 400 triliun obligasi untuk rekapitalisasi sudah beredar di pasar. "Bisa-bisa kelebihan pasokan, dan harga jatuh," katanya mewanti-wanti.
Muliaman memaklumi adanya risiko itu. "Kalau pasar kurang bagus, kami tidak akan menjualnya."
Pasar tak perlu terlalu resah, karena obligasi itu tidak akan terbit setiap saat. "Belum tentu setahun sekali ada bank bangkrut yang berefek sistemik," kata Muliaman.
Karena itu pula seorang analis perusahaan sekuritas menilai perdebatan soal boleh atau tidaknya obligasi ini diperdagangkan bukan hal yang penting. Lebih baik, kedua lembaga itu memikirkan bagaimana caranya membuat sistem pengawasan bank yang ketat dan transparan. Sehingga, publik dapat dengan mudah memilih bank mana yang baik dan sehat. "Kalau ini dijalankan, mungkin obligasi itu malah tak akan pernah terbit."
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini