Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pengusaha tekstil, siapa yang tak paham kaliber Marimutu Sinivasan, pendiri Grup Texmaco. Tapi sejarah dalam beberapa tahun belakangan ini lebih dipenuhi dengan cerita Sinivasan sebagai debitor kakap Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Hingga BPPN dibubarkan, persoalan yang dihadapi Texmaco belum juga tuntas. Gunungan utang Texmaco yang sudah direstrukturisasi tidak laku dijual dan pemerintah belum memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap perusahaan tersebut. Kini kepolisian mulai menyelidiki dugaan pelanggaran pidana dalam kasus tertunggaknya surat kredit Texmaco.
Berikut sekilas perjalanan Texmaco dalam lima tahun terakhir.
November 1999
Presiden Direktur Texmaco Marimutu Sinivasan dan Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk., Saefuddin Hasan, mengakui bahwa kredit prapengapalan untuk Texmaco senilai Rp 9,8 triliun bermasalah.
Kasus kredit macet ini kian bergulir setelah Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi membeberkan adanya campur tangan mantan presiden Soeharto dalam pemberian kredit kepada Texmaco.
Desember 1999
Kredit prapengapalan Texmaco yang macet memasuki babak proses hukum. Jaksa Agung (waktu itu) Marzuki Darusman menetapkan Marimutu Sinivasan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam pengucuran kredit prapengapalan tersebut.
Januari 2000
PT Bank Putera Multikarsa milik Marimutu Sinivasan dibekukan. Saat ditutup, rasio kecukupan modal Bank Putera minus 48,15 persen, dengan tingkat kredit bermasalah mencapai 80 persen. Sebagai pemilik pengendali, Marimutu dibebani kewajiban melunasi utang Bank Putera ke negara Rp 1,13 triliun. Perjanjian pelunasan utang sebagai pemilik Bank Putera ditandatangani oleh Sinivasan pada Oktober 2000.
Maret 2000
BNI mengalihkan kredit bermasalah Texmaco ke BPPN Rp 14,9 triliun. Hal yang sama sebelumnya dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Rp 2,5 triliun), PT Bank Tabungan Negara (Rp 500 miliar), dan PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Rp 1,4 triliun). Selang beberapa hari setelah itu, Texmaco mendapat fasilitas pembiayaan perdagangan dari BNI US$ 16 juta (Rp 136 miliar) per bulan, dengan jaminan dari BPPN. Kendati pemberian fasilitas kredit baru ke debitor tak lazim, BPPN bersikukuh membantu modal kerja Texmaco agar restrukturisasi utang dapat berjalan. Belakangan fasilitas kredit ini kembali macet.
Mei 2001
Perjanjian restrukturisasi utang Texmaco total senilai Rp 29,37 triliun disepakati. Skemanya, dibentuk dua perusahaan induk baru (newco), yaitu PT Bina Prima Perdana (untuk kelompok tekstil) dan PT Jaya Perkasa Engineering (untuk kelompok perekayasaan mesin).
Kedua perusahaan itulah yang kemudian mengambil alih hak tagih atas Texmaco. BPPN menguasai 70 persen saham PT Bina Prima (newco tekstil), adapun Marimutu Sinivasan memiliki 30 persen saham Bina dan 100 persen saham Perkasa.
September 2001
Komite pemantau pelaksanaan tugas BPPN menyatakan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan restrukturisasi utang Texmaco, khususnya soal waktu restruktur-isasi utang yang terlalu lama, lebih dari 10 tahun. Selain itu, tidak adanya kepemilikan BPPN di perusahaan induk engineering.
Agustus 2002
Perjanjian restrukturisasi utang Texmaco berlaku efektif setelah dua newco Texmaco mengambil alih hak tagih atas Texmaco Rp 29,37 triliun, dengan menerbitkan empat seri obligasi yang dapat dipertukarkan (exchangeable bonds) ke BPPN.
April 2003
BPPN, BNI, serta Sinivasan menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan pembayaran L/C Texmaco yang tertunggak di BNI US$ 89 juta (Rp 756,5 miliar). Dalam kesepakatan baru itu ditetapkan bahwa BPPN (kembali) akan berperan sebagai penjamin pembayar L/C Texmaco yang tertunggak, sedangkan Sinivasan wajib menyetor dana segar US$ 25 juta (Rp 212,5 miliar). Kesepakatan menumbuk jalan buntu setelah Sinivasan gagal menyetor dana segar hingga tenggat (Juni 2003) terlewati. Sinivasan bersikeras agar tambahan dana diambil dari deposito di BCA senilai Rp 280 miliar, padahal deposito tersebut telah digunakan untuk pelunasan utang Sinivasan sebagai pemegang saham Bank Putera.
Juli 2003
BPPN menawarkan obligasi yang diterbitkan dua newco Texmaco dalam program penjualan aset strategis (PPAS) pertama. Bluestar, perusahaan negara asal Cina, dan Utara Capital, konsorsium yang dipimpin Mirzan Mahathir, sempat melirik aset kredit tersebut. Namun, hingga kini, aset kredit Texmaco tak kunjung terjual.
Agustus 2003
Dua newco Texmaco gagal melunasi kupon bunga Rp 139 miliar yang jatuh tempo untuk pertama kalinya. BPPN memilih tetap menjajakan obligasi kedua newco di PPAS dan tidak menyatakan kedua newco gagal bayar.
Februari 2004
Hanya sepekan menjelang pembubarannya, BPPN menyatakan Texmaco wanprestasi. Restrukturisasi utang yang disepakati tahun 2001 pun dibatalkan. Lebih lanjut, Deputi Ketua BPPN M. Syahrial menyatakan bahwa utang macet Texmaco akan dialihkan ke Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara. BPPN juga menyatakan akan menalangi tunggakan L/C Texmaco di BNI secara tunai sebesar US$ 67 juta.
Maret 2004
Markas Besar Polri mulai menelisik kemungkinan pelanggaran pidana dalam kasus tertunggaknya surat kredit Texmaco. Dugaan penyalahgunaan itu didasarkan pada temuan kantor akuntan PricewaterhouseCoopers yang pernah mengaudit kedua newco Texmaco pada 2002. PricewaterhouseCoopers mendapat bukti, hasil penjualan ekspor divisi tekstil dipakai membiayai kelompok engineering grup usaha milik Marimutu Sinivasan. Padahal, menurut Ketua BPPN, hasil penjualan seharusnya dikembalikan ke BNI sebagai pelunasan L/C.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo