Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dahi Alfred H. Rohimone langsung berkerut dan rona wajahnya sontak berubah masam ketika TEMPO menanyakan nasib investasi Petral senilai US$ 4,9 juta (Rp 41,6 miliar) di Kamboja. "Duit itu kami anggap hilang," kata pria yang baru tujuh bulan menjabat Direktur Keuangan PT Pertamina tersebut.
Ia membandingkan investasi tersebut dengan tingkat pengembalian Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang hanya 28 persen dalam kurun waktu lima tahun. "Apalagi Petral yang hampir 10 tahun, mungkin hanya kembali 10-15 persen."
Petral, anak perusahaan Pertamina yang berkantor di Singapura, memang memberikan pekerjaan rumah yang memusingkan bagi Alfred dan jajaran direksi baru Pertamina yang dilantik 17 September tahun lalu.
Mantan komisaris PT Bank Central Asia Tbk. ini pantas gusar. Soalnya, sejak investasi dikucurkan pada 1996, Petral belum mendapat dividen sepeser pun. Mitra bisnisnya, Friendship Petro Import Export Co. Ltd., beralasan perusahaan sedang merugi.
Masalahnya, ini bukan kebobolan yang pertama kali. Sebelumnya, deposito Petral di Credit Suisse Singapore Branch juga raib. Nilainya juga tidak sedikit, hampir US$ 9 juta (Rp 76,5 miliar).
Jadi, jika digabung dengan investasi yang macet di Kamboja, duit Pertamina di Petral yang hilang mencapai US$ 13,9 juta (Rp 118,1 miliar).
Alfred pesimistis Petral dapat menagih uangnya dengan penuh karena Friendship Petro, yang dipimpin oleh Lam Kheang, punya kongsi hebat: mafia militer Kamboja.
Jadi, kalau Petral macam-macam seperti menuntut agar duitnya dikembalikan, Lam dan kelompoknya itu tidak segan-segan main senjata api. "Mereka mafia Kamboja, tentara semua. Susahlah ditagih," katanya pasrah.
Alfred juga tidak mau berandai-andai dengan menyiapkan alternatif seperti menjual kepemilikan saham Petral. Sebab, toh tidak ada peminatnya juga.
Kisah kerugian Petral ini bermula dari perjanjian kerja sama antara Friendship Petro dan Pertamina Oil Marketing Limited pada 8 Desember 1996. Kerja sama tersebut untuk membuat perusahaan patungan di Kamboja dengan nama Mittapheap-Perta Petroleum Ltd.
Berdasarkan data yang diterima TEMPO, Pertamina Oil menguasai saham perusahaan patungan yang bergerak pada bisnis pompa bensin itu sebesar 49 persen. Sisanya dikuasai Friendship Petro. Rencananya, mereka akan membangun sekitar 60 stasiun pompa bensin. Namun kini jumlahnya menyusut ting- gal 34 stasiun.
Selain menyertakan modal US$ 2,4 juta (Rp 20,4 miliar), Pertamina Oil kemudian meminjami Mittapheap dana senilai US$ 2,1 juta (Rp 17,8 miliar). Jadi, total investasinya mencapai US$ 4,5 juta (Rp 38,2 miliar).
Belakangan diketahui, Mittapheap masih punya utang kepada Vietnam Petroleum Corporation senilai US$ 1 juta (Rp 8,5 miliar) untuk pembelian bahan bakar minyak.
Sebagai pemegang saham 49 persen, kemungkinan besar Pertamina Oil harus ikut menanggung utang tersebut secara proporsional atau setara dengan US$ 490 ribu. Jadi, menurut data Petral, total potensi kerugian atas investasinya mencapai US$ 4,9 juta atau setara Rp 41,6 miliar.
Pertamina ternyata tidak pusing sendirian mengurusi investasi macet Petral. Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat menawarkan jasa membantu menyelesaikan masalah ini lewat jalur bilateral melalui kerja sama antara parlemen kedua negara.
Tawaran bantuan tersebut, kata Wakil Ketua Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral DPR, Agusman Effendi, sudah dilontarkan dalam rapat kerja dengan Pertamina, Kamis pekan lalu. "Kami ingin investasi uang negara itu kembali secepatnya," kata Agusman.
Dia berpendapat, dalam struktur ketatanegaraan Kamboja yang baru, parlemen mempunyai posisi kuat sehingga bisa menekan pengusahanya. Inilah yang dicoba dimanfaatkan Komisi Energi. Meski begitu, jasa ini belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, parlemen sedang dalam masa istirahat untuk kampanye dan pemilu pada 5 April.
Namun tawaran jasa itu bukan berarti solusi yang manis bagi Petral. Soalnya, direksi Pertamina yang dipimpin Ariffi Nawawi sejak Januari lalu sedang mengaudit kinerja anak-anak perusahaan.
Audit yang berkaitan dengan perubahan status Pertamina menjadi perseroan tersebut dilakukan oleh sebuah tim khusus dengan masa kerja enam bulan. Manajer Humas PT Pertamina, Hanung Y. Budya, menjelaskan bahwa hasil audit akan disampaikan kepada direksi pada bulan Juli. Tim itu akan memberikan rekomendasi kepada direksi: anak-anak perusahaan mana yang perlu dipertahankan atau dilikuidasi.
Jadi, ada kemungkinan 14 anak perusahaan Pertamina, termasuk Petral, bisa dilikuidasi? "Kemungkinan itu bisa saja terjadi," kata Direktur Utama Petral, Ari H. Soemarno, melalui surat elektronik kepada TEMPO.
Kedua kasus di Petral wajar saja dijadikan bahan penilaian oleh Pertamina. "Memang seharusnya demikian."
Namun, ia tidak yakin kebobolan itu menjadi pertimbangan Pertamina melikuidasi Petral. Ari optimistis direksi Pertamina tidak akan mengambil opsi sejauh itu.
Kok bisa? "Peran Petral selama ini signifikan," kata Ari.
Lewat Petral, Pertamina membeli kebutuhan minyak mentah impor. Lewat Petral pula, Pertamina memasarkan minyak mentah dan produk hasil kilang ke pasar internasional. Meski begitu, kata Ari, bukan berarti Petral menjadi anak emas. Sebab, dalam setiap pengadaan impor minyak mentah, Petral tetap ikut prosedur tender.
"Lewat Petral, Pertamina mendapat jaminan pengadaan minyak mentah dengan harga bersaing," tuturnya.
Lagi pula, ujarnya, dalam berbagai kesempatan, direksi Pertamina selalu mendorong agar Petral terus berkembang dan menjadi lebih besar lagi. Tapi, kalau kebobolan melulu, direksi mana yang bisa tahan, Pak?
M. Syakur Usman
Senjata untuk Menjaga Pasar
Pertamina Energy Trading Limited atau biasa disebut Petral semula bernama Perta Group. Kelahirannya pada 1969 dibidani oleh Pertamina dan kelompok usaha dari Amerika Serikat. Bisnis awalnya memasarkan minyak mentah dan produk jadi Pertamina ke pasar Amerika Serikat.
Perta kemudian mempunyai dua anak perusahaan, yakni Perta Oil Marketing Corporation Limited, yang bekerja sama dengan pemerintah Bahama dan berkedudukan di Hong Kong. Satunya lagi Perta Oil Marketing Corporation, yang berkantor di California.
Pada September 1998, Pertamina membeli seluruh saham Perta Group dengan menyuntikkan modal US$ 9 juta (Rp 76,5 miliar). Pertamina lalu mengubah nama Perta menjadi Pertamina Energy Trading Limited atau disingkat Petral, pada Maret 2001.
Pada saat itulah Petral diproklamasikan menjadi "senjata" utama Pertamina dalam perdagangan minyak mentah dan produk lainnya di pasar internasional. Bisnis utamanya adalah mengembangkan dan menjaga pasar minyak mentah dan produk yang dipasok Pertamina.
Pasar Petral tersebar di kawasan Asia-Pasifik, Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Tahun lalu, Petral berhasil membukukan laba US$ 8,7 juta (Rp 73,9 miliar) dengan realisasi volume perdagangan sekitar 127 juta barel. Jumlah keuntungan itu naik ham- pir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, yang hanya US$ 4,6 juta (Rp 39,1 miliar).
Saat ini Petral dikomandani oleh Ari H. Soemarno, kakak kandung Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi. Ia sejak Oktober tahun lalu menggantikan Wahyu Sungkono, menyusul kasus bobolnya dana deposito Petral di Credit Suisse Singapore Branch senilai US$ 8,2 juta (Rp 69,7 miliar).
MSU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo