Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Bisnis Sepekan

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Bisnis Sepekan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tunai dari Mandiri

Pemerintah memperoleh setoran tunai Rp 2,9 triliun (US$ 336 juta) dari penjualan 10 persen saham Bank Mandiri. Dalam siaran persnya Kamis pekan lalu, Kementerian Negara BUMN menyatakan bahwa dari penjualan dengan menggunakan cara penawaran terbatas pada Kamis pekan lalu itu, pemerintah berhasil menjual dua miliar lembar sahamnya dengan harga Rp 1.450 per lembar. Harga tersebut mencerminkan diskon 1,1 persen terhadap harga rata-rata tertimbang hari Rabu (Rp 1.466) dan diskon 3,3 persen dibandingkan dengan harga penutupan hari Rabu (Rp 1.500).

Penjualan 10 persen saham bank terbesar di Indonesia ini merupakan lanjutan dari penjualan saham Mandiri pada Juli lalu sebanyak 20 persen. Pada saat itu, pemerintah melepas saham Mandiri untuk pertama kalinya di bursa dengan harga Rp 675 per lembar dan mendapat dana tunai Rp 2,7 triliun. Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan dari privatisasi sebesar Rp 5 triliun. Kekurangannya, salah satunya, akan ditutup dari penjualan saham PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.

Telkom Minta Naik

PT Telkom minta agar pemerintah segera mengizinkan kenaikan tarif telepon 45,49 persen. Kenaikan tarif sebesar itu sudah disepakati pemerintah dan DPR pada 2001 dan diberlakukan dalam tiga tahap. Tapi, sampai kini, rencana tersebut baru terealisasi 15 persen pada 2002. Tahun lalu pemerintah juga membatalkan rencana kenaikan tarif telepon tahap kedua, sehingga kenaikan yang belum direalisasi masih sekitar 30 persen. Untuk itulah Telkom kembali menagih janji kepada pemerintah agar segera menerapkan kenaikan tarif tahap kedua.

Direktur Utama Telkom, Kristiono, mengatakan bahwa kenaikan tarif dibutuhkan karena tarif yang ada sudah tidak seimbang dengan industrinya. Apalagi pemerintah sudah membuka pintu bagi investor untuk memasuki sektor telekomunikasi. "Mekanisme kompetisi akan berjalan seimbang kalau tarif dinaikkan," katanya di Jakarta, Rabu pekan lalu. Namun, bagi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), kenaikan tarif total 10-15 persen sudah cukup. "Inflasi kini berkisar 5 persen, tak setinggi tiga tahun lalu," kata Hery Nugroho, anggota BRTI.

Badan independen yang dibentuk pasca-deregulasi sektor telekomunikasi ini diketahui sudah mengusulkan kenaikan tahap kedua sebesar 10 persen. Tapi apakah kenaikan tarif telepon akan sebesar itu, bola ada di tangan Presiden Megawati. Melihat tensi politik sedang meninggi seperti sekarang, Telkom tampaknya harus bersabar menunggu keputusan Presiden.

Ekspor Tujuh Persen

Pemerintah menargetkan ekspor nonmigas tahun ini naik 7 persen dari tahun lalu. Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mengatakan bahwa pemerintah mengandalkan 15 komoditas pada tahun ini. Komoditas primadona tahun ini antara lain kopi, furniture, dan kayu olahan. Untuk itu, pemerintah akan mengirim sejumlah misi dagang komoditas tertentu ke berbagai kawasan, seperti kopi ke Afrika Selatan, tekstil dan produk tekstil ke Amerika Serikat, dan produk makanan ke Peru dan Ekuador.

Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Halim Alamsyah, menyatakan target pemerintah tersebut cukup masuk akal. "Kalau melihat variabel fundamental yang ada, mestinya bisa dicapai," katanya kepada Amal Ihsan dari Tempo News Room. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan pemulihan kondisi ekonomi dunia akan melahirkan peningkatan permintaan beberapa mitra dagang utama seperti AS, Jepang, dan Singapura. Selain itu, Bank Indonesia memprediksi harga komoditas internasional, khususnya nonmigas dan manufaktur, masih akan naik meskipun dengan laju kenaikan yang melambat.

Obligasi Rp 2 Triliun

Pemerintah akan menerbitkan obligasi negara dalam mata uang rupiah senilai Rp 2 triliun pada pekan depan. Obligasi yang akan dilelang itu berseri FR0023 dan jatuh tempo pada 15 Desember 2012 dengan kupon bunga tetap sebesar 11 persen. Obligasi ini dijual dengan pecahan terkecil Rp 1 juta. Lelang obligasi pekan depan merupakan yang kedua kali dalam tahun ini. Pertengahan bulan lalu, pemerintah telah menerbitkan obligasi negara Rp 2,5 triliun.

Seperti telah diketahui, pemerintah merencanakan penerbitan obligasi hingga senilai Rp 32,5 triliun untuk membiayai belanja negara sepanjang tahun 2004. Untuk itu, pemerintah akan melelang obligasi rupiah ke pasar dalam negeri setiap tengah bulan dengan besaran yang disesuaikan dengan kondisi pasar. Selain menjual obligasi rupiah, pemerintah juga menjual obligasi dolar di pasar internasional. Pekan lalu obligasi dolar Indonesia laris manis diborong investor hingga Rp 8,6 triliun (US$ 1 miliar).

Penertiban Peraturan Daerah

Selama dua bulan terakhir, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno membatalkan 161 peraturan daerah serta meminta pemerintah daerah membatalkan sendiri 284 peraturan yang dianggap menghambat investasi. Hal itu terungkap dalam laporan pemantauan pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi Pasca-IMF yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ke Presiden, Rabu pekan lalu. Peraturan daerah yang dibatalkan itu termasuk di antara 3.000 peraturan daerah yang dikaji ulang.

Dorodjatun mengungkapkan bahwa banyak investor yang mengeluhkan peraturan daerah yang tak mendukung iklim investasi di daerah. "Kami minta daerah mencabut peraturan itu karena ini menakutkan," ujar Dorodjatun. Dia menyebut peraturan yang kerap meresahkan investor adalah yang terkait dengan pajak, kepabeanan dan pelabuhan, tenaga kerja, serta prasarana. "Investor Jerman itu selalu mengeluhkan sarana pelabuhan," ucap Dorodjatun memberi contoh. Diukur dari peraturan daerah, Komite Pemantau Otonomi Daerah menobatkan Purwakarta dan Batam sebagai daerah teramah bagi investor.

Peraturan untuk Lahan Tumpang Tindih

Akhirnya pemerintah punya keberanian juga. Setelah mendiamkan berlarut-larut, masalah tumpang tindih areal pertambangan dengan hutan lindung diselesaikan pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2004. Peraturan yang mengubah UU Kehutanan No. 41/1999 ini pada prinsipnya memberikan izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Keberanian yang ditunggu-tunggu mereka yang berkepentingan dengan urusan ini diputuskan dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pemerintah memprioritaskan 13 perusahaan dari 22 yang diajukan untuk diberi izin tambang. Pertimbangannya, perusahaan itu memiliki cadangan jelas dan dinilai ekonomis. Sembilan perusahaan lagi tidak diberikan izin untuk melanjutkan aktivitas pertambangan khusus di areal yang terjadi tumpang tindih. Nama-nama perusahaan akan diumumkan dalam sebuah keputusan presiden. "Kebijakan ini telah melalui pembicaraan intensif pemerintah, dan konsultasi dengan Komisi Kehutanan dan Komisi Sumber Daya Mineral DPR sejak tahun lalu," ujarnya.

Namun keberanian pemerintah ini tidak mendapat dukungan dari Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral DPR RI. Menurut Ketua Komisi, Irwan Prayitno, hingga kini DPR tidak pernah memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk mengeluarkan izin kepada 13 perusahaan pertambangan yang berada di hutan lindung. "Izin itu tetap tidak bisa diberikan tanpa persetujuan DPR karena kebijakan ini terkait dengan undang-undang," ujarnya. Ketiga belas perusahaan itu antara lain PT Freeport Indonesia di Mimika (Papua), PT Aneka Tambang di Bahubulu (Sulawesi Tenggara), dan PT Nusa Halmahera Mineral di Maluku Utara.

Kerasnya Bisnis Baja

Pemerintah dalam waktu dekat tetap akan membebaskan tarif bea masuk seluruh produk baja impor dari tarif sekarang 15-25 persen. Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M.S. Soewandi, menegaskan bahwa kebijakan itu diambil untuk melindungi kelangsungan hidup industri baja hilir yang ambrol diterpa kenaikan harga baja di pasar dunia hingga 50 persen. Gara-gara kenaikan itu, banyak perusahaan baja hilir yang kesulitan mendapat bahan baku. "Dalam situasi sulit begini, pemerintah juga harus memperhatikan industri hilir yang banyak menyerap tenaga kerja," ujar Rini di sela-sela meninjau pameran di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Pernyataan Rini itu sekaligus membantah tuduhan para produsen baja dalam negeri bahwa dengan rencana itu pemerintah tidak memperhatikan aspirasi mereka. Rini malah mengingatkan bahwa sudah bertahun-tahun pemerintah memberikan proteksi terhadap industri baja hulu. Dia juga meminta perusahaan baja seperti Krakatau Steel melakukan audit mengapa mereka tak mampu bersaing jika bea masuk baja menjadi nol persen. "Jangan mengemis. Krakatau Steel kan sudah lama berdiri," kata Rini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus