Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBINCANGAN antara musikus Anang Hermansyah dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf tiba-tiba berbelok membahas industri film nasional. Kedatangan Anang di kantor Triawan di lantai 17 gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jakarta Pusat, Kamis siang pekan lalu, semula mewakili Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia.
Anang mengganti tema obrolan karena ia pernah menjadi anggota Panitia Kerja Film Dewan Perwakilan Rakyat tahun lalu. Pencipta lagu sekaligus politikus Partai Amanat Nasional itu adalah anggota Komisi Pendidikan dan Ekonomi Kreatif DPR periode 2014-2019. Adapun Triawan adalah mitra kerja Panja.
Salah satu rekomendasi Panja adalah penerapan sistem laporan jumlah film dan penonton bioskop secara elektronik-atau dikenal sebagai Integrated Box Office System (IBOS). Sistem ini berupa perangkat lunak yang "ditanam" pada sistem operasional bioskop. Sistem ini kemudian mendeteksi jumlah penonton berdasarkan film, sekaligus jumlah tiket yang terjual secara real time. Karena rekomendasi itu sudah berumur satu tahun, Anang menanyakan progresnya. "Sudah sampai mana, kok peraturan menterinya tak kunjung terbit?" katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Triawan memang tengah menunggu terbitnya regulasi yang ditanyakan Anang. Regulasi itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Hampir delapan tahun undang-undang itu tidak diikuti regulasi yang mengatur urusan teknis.
Akibatnya, rencana penerapan IBOS tak kunjung terwujud. Bukan cuma IBOS, tak adanya peraturan menteri membuat gerak Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tumpang-tindih dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di era Presiden Joko Widodo, Bekraf diberi tugas mengatur industri kreatif, termasuk aspek film. Payung hukum Bekraf adalah peraturan presiden. Sedangkan undang-undang menyebutkan urusan film diampu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Walhasil, kewenangan Bekraf serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertubrukan. Panja Film DPR tahu betul ada potensi tabrakan kewenangan. Karena itu, parlemen meminta pemerintah membagi dan mengatur kewenangan kedua lembaga tersebut melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan menteri ini berkali-kali dibahas sepanjang tahun lalu. Pembahasan belasan kali itu menghasilkan dua draf peraturan menteri pada April dan Oktober tahun lalu. Isinya antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatur sisi hulu perfilman. Adapun Bekraf berwenang mengatur industri film di sektor hilir. "Dalam peraturan itu juga akan diatur pasal pelaksanaan IBOS," kata Triawan.
Hingga pekan lalu, draf itu tak kunjung diteken Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Menurut seorang pejabat di Kementerian Pendidikan, lembaganya terkesan menghindar untuk meneken draf peraturan menteri tersebut. Salah satu indikasinya terlihat saat Hari Film Nasional digelar di Studio Perum Produksi Film Negara Jakarta Timur, akhir Maret lalu. Panitia mengundang Muhadjir dalam acara itu.
Dalam acara tersebut, panitia telah menyiapkan agenda pembahasan IBOS bersama Muhadjir. Rencana itu buyar karena Muhadjir batal hadir. Tak lama kemudian, muncul kabar di antara pelaku industri perfilman yang menyebutkan pasal mengenai IBOS hilang dari draf peraturan menteri.
Maman Wijaya, Kepala Pusat Pengembangan Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membantah kabar bahwa bosnya menghindar untuk meneken aturan tersebut. Menurut dia, atasannya belum menandatangani peraturan menteri karena menunggu terbitnya peraturan pemerintah lebih dulu. Tujuannya memastikan agar peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak bertabrakan. "Sekarang posisi peraturan pemerintah pada tahap harmonisasi," katanya.
Maman juga membantah kabar hilangnya pasal IBOS. Menurut dia, IBOS tidak pernah dimasukkan ke draf peraturan menteri. Namun tidak adanya IBOS dalam peraturan menteri bukan berarti tidak ada kewajiban pelaporan. Maman memastikan pasal yang mengatur pelaporan jumlah penonton tetap ada karena itu adalah perintah undang-undang.
Maman mengklaim sejak awal pembahasan dan uji publik tidak pernah ada kata IBOS dalam draf peraturan menteri. Kesepakatannya adalah menggunakan istilah yang lebih umum, yakni pelaporan jumlah penonton secara elektronik dari pengusaha pertunjukan film kepada menteri. "Istilah IBOS tidak menjadi pilihan tapi sebagai usul dan bahan pembahasan," ujarnya.
Tak kunjung diterapkannya IBOS membuat Firman Bintang kecewa. Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia itu mengatakan usul penerapan IBOS berasal dari mayoritas produser, yang meminta transparansi dari pengusaha bioskop tentang jumlah penonton dan penerimaan penjualan tiket. Data ini menjadi acuan menghitung hak produser. Bagi hasil antara produser dan pengusaha bioskop, menurut Firman, adalah total penerimaan setelah dikurangi pajak lalu dibagi dua.
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia Fauzan Zidni setali tiga uang. Menurut dia, IBOS bertujuan memajukan industri perfilman. Syarat majunya industri film adalah dengan mengetahui jumlah penonton paling mutakhir. "Masalahnya, data industri yang disediakan pemerintah terakhir tahun 2013," katanya.
Namun tak semua produser satu suara. Pendiri rumah produksi Starvison, Chand Parwez Servia, menilai bahwa tanpa IBOS, data jumlah penonton bisa diakses. Ia menampik anggapan bahwa pengusaha bioskop sengaja menutupi akses terhadap data ini. Sebaliknya, keduanya bisa bekerja sama menggali informasi jumlah penonton karena hal ini saling menguntungkan buat keduanya. Maka Parwez menilai penerapan IBOS tidak banyak mendatangkan manfaat. "Banyak mudaratnya," katanya.
Bagi Anang Hermansyah, penerapan IBOS menjadi kunci transparansi di industri perfilman nasional. Dari sistem itu akan didapatkan data jumlah penonton berdasarkan film. Dengan demikian, setiap film bisa dihitung pendapatan dari jumlah tiket yang terjual. Dari hitungan itu, akan bisa dikalkulasi besarnya royalti pemain film. Pemerintah juga bisa menghitung potensi pajak dari industri ini lebih tepat.
Adapun Triawan menilai penerapan IBOS bakal memikat investor asing datang ke Indonesia. Setelah dibukanya daftar negatif investasi untuk film, investor asal Cina, India, dan Korea Selatan mulai melirik Indonesia. Kedatangan investor tersebut merupakan peluang menambah jumlah layar bioskop di Indonesia, terutama di daerah.
Triawan mengungkapkan, selama ini investor asing enggan masuk karena tidak tersedianya data jumlah penonton yang terverifikasi. Menurut Triawan, di sinilah urgensi penerapan IBOS. Ia menilai penerapan IBOS genting karena Indonesia tertinggal dari negara Asia Tenggara lainnya. "Banyak negara telah menerapkan IBOS," katanya. Untuk menerapkan sistem ini, Triawan mengaku mendapatkan tawaran dari Korea International Cooperation Agency, lembaga nirlaba Korea Selatan, sebesar US$ 5,5 juta atau sekitar Rp 73 miliar.
Dana hibah inilah yang memicu penolakan dari beberapa pengusaha bioskop. Djonny Safruddin, Ketua Umum Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, menolak IBOS dibiayai negara lain. Pemilik bioskop independen di lima kota di Jawa Tengah ini mencurigai ada kepentingan dagang di balik dana hibah tersebut. Ia membantah IBOS telah diterapkan di banyak negara. "Penerapan IBOS hanya di Korea," ujarnya. Djony waswas sistem baru ini menelanjangi dapur pasar film domestik.
Triawan mahfum rencana penerimaan dana hibah Korea itu memantik kecurigaan. Salah satu kecurigaan itu, misalnya, ketakutan pasar Indonesia dibanjiri film asal Negeri Ginseng. Menurut Triawan, anggapan seperti itu keliru karena dalam perjanjian kedua negara, bukan hanya Korea Selatan yang bisa menjual filmnya ke Indonesia, tapi juga berlaku sebaliknya.
Tak mengherankan bila sejumlah produser film menduga penolakan hibah asal Korea Selatan ini karena pengusaha bioskop domestik, terutama bioskop raksasa, khawatir ceruk pasarnya tergerus. Catherine Keng, Corporate Secretary Group 21, yang memiliki bioskop Cinema XXI, The Premiere, dan Cinema 21, sadar tudingan itu ditujukan ke perseroannya. Catherine mengatakan sudah kenyang dikambinghitamkan dan dituduh melobi sana-sani.
Menurut dia, Group 21 enggan mengomentari rencana penerapan IBOS. Sebab, data jumlah penonton sudah dibuka kepada pemerintah dan sudah dipublikasikan kepada masyarakat. Dari data yang ada itu sudah bisa didiagnosis persoalan film nasional. "Banyak film kurang mutunya atau sedikit diminati penonton," ujarnya. Itu sebabnya perlu dicari jalan keluar. Solusinya, kata dia, bukan menyelesaikan persoalan data pelaporan secara mutakhir.
Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo